🌹🌹🌹
Bagi seorang Briona yang sangat pemilih terhadap orang-orang terdekat yang akan dia jadikan teman tentu keberadaan seorang Dara adalah hal yang paling dia syukuri. Pertemuan mereka tidak bisa dengan mudah dilupakan. Pun dengan kehadiran gadis itu yang dengan sangat kebetulan sekali bisa hadir pada saat titik terendah masa remaja Briona.
Briona dan Dara satu kelas sejak sekolah menengah pertama, berlanjut ke sekolah menengah atas dan Briona beruntung sekali dia bisa sebangku dengan Dara yang memang merupakan teman satu-satunya.
Dan saat pagi mendung itu dia berangkat dengan wajah yang tak kalah kelamnya, dengan kemeja kusut yang lupa disetrika, Dara yang menyadari ada yang berbeda dari seorang Briona langsung curiga.
Briona memang pendiam dan jarang bicara, namun saat Dara membahas sesuatu yang menurutnya menarik, akan ada sedikit ekspresi antusias yang Briona tampilkan. Dan hari ini berbeda. Briona yang pendiam, tampak lebih pendiam lagi. Briona yang tanpa ekspresi, terlihat datar layaknya tanpa empati. Jika saja Dara tidak mengenal Briona lama, mungkin dia akan mengira jika Briona hanyalah patung barbie.
Dan yang lebih anehnya lagi adalah, saat jam pelajaran terakhir hendak usai, sahabatnya itu justru menanyakan sesuatu yang membuat Dara kontan mengernyit.
“Mama lo dokter, kan?” Itu adalah suara pertama Briona yang Dara dengar untuk hari ini.
Dara mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Kenapa? Lo sakit?”
Setelah memperhatikan Briona dengan lebih seksama, memang, Dara bisa dengan jelas melihat mata cekungnya layaknya orang kurang tidur. Wajahnya yang putih juga terlihat pucat. Dan Dara khawatir sekali.
Dan saat Briona terdiam, Dara yang memang peka menyadari tatapan aneh dari Briona. Seolah hendak mengatakan sesuatu, namun juga ragu.
Oleh karena itu, Dara mencoba tersenyum menenangkan. Setelah sekian tahun mereka menjalin persahabatan dan selalu bersama, akan sangat menyenangkan jika Briona mau sedikit saja berbagi cerita. Setidaknya, jika Dara bisa membantu, dia akan dengan senang hati melakukannya.
“G—gue hamil.”
Perkataan itu bagai petir yang menyambar Dara di siang hari. Membuatnya terkejut dan sedikit tidak percaya. “Lo ... Serius?”
Dia tahu sekali Briona tidak pernah main-main apa lagi melontarkan lelucon hanya untuk mengerjainya saja. Briona bukan orang seperti itu. Dan saat kalimat tak terduga itu keluar dari bibir seorang Briona, Dara syok seketika.
“Sama siapa?” Karena pertanyaan sebelumnya tidak mendapat jawaban karena Briona tidak mau mengulang, Dara mengajukan pertanyaan lain. Penjelasan guru di depan sana sudah hilang sama sekali dari peradaran Dara.
Briona langsung menunduk. Dara adalah orang pertama yang dia beri tahu mengenai kehamilannya. Dia takut sekali. Sekaligus bingung dan tidak tahu akan melakukan apa.
Untuk gadis berumur delapan belas tahun, hamil di usia itu merupakan aib yang memalukan. Masa depannya masih cerah dan cemerlang, semua orang pasti akan menyayangkan atau bahkan mengolok kondisinya. Apa kata Mama dan Papa nanti? Briona sudah membuat mereka kecewa. Dan terlebih ... Kama pun juga tidak menginginkannya.
Lalu sekarang bagaimana? Tidak ada cara lain, kan?
“Kama ...?”
Seperti biasa, tebakan Dara memang selalu tepat sasaran. Dan saat menyadari Briona sama sekali tidak membantah, Dara langsung mendesah keras.
“G—gue, mau gugurin—”
“Bri!” Bentakan Dara tanpa sadar memancing beberapa mata. Namun untung tidak terlalu keras karena guru mereka masih tetap sibuk menjelaskan tanpa terganggu sama sekali. “Kita omongin nanti. Inget Bri, jangan gegabah.”
Karena membicarakan sesuatu yang sangat serius pada jam mata pelajaran seperti ini adalah hal yang sedikit di luar nalar.
Dara benar-benar tidak menyangka dengan pemikiran Briona yang dangkal dan tidak masuk akal.
🌹🌹🌹
Briona frustrasi. Dara sama sekali tidak mau membantunya. Dia tahu sekali bahwa menggugurkan kandungan sama saja dengan tindakan pembunuhan. Namun mau bagaimana lagi? Briona pun sama sakitnya. Sama menyesal nya dan sama merasa bersalah terhadap janin tak berdosa yang bahkan sebelum lahir saja sudah direncanakan untuk dibunuh oleh sang ibu.
Briona hampir gila saat tidak menemukan cara. Berjam-jam dia browsing dan tetap saja merasa takut sekaligus tidak tega.
Sampai akhirnya dia menemukan satu cara yang paling gila. Jika menggugurkan adalah hal yang salah, bagaimana jika mereka mati bersama saja? Meskipun sama-sama tidak benar, setidaknya Briona tidak perlu menanggung rasa bersalah yang teramat besar.
Lalu dengan gemetar, dia meraih sebotol obat yang selalu diminumnya saat susah untuk terlelap. Obat pemenang dengan dosis keras itu mungkin akan membuatnya terlelap dengan damai jika Briona menelannya sedikit lebih banyak dari yang biasa dia minum.
Jika setiap malam dia butuh dua butir, malam ini mungkin dia butuh lima, atau sepuluh?
Dia tidak sempat menghitung karena obat itu langsung dia tumpahkan dalam genggaman. Meneguknya saat itu juga dibantu dengan air putih.
Ya, dia ingin sekali tidur lelap. Selamanya, kalau saja bisa.
🌹🌹🌹
Namun sayangnya, harapan itu sama sekali tidak terwujud. Di mana Briona kembali sadar dengan kepala seperti dihantam ribuan palu, juga perut bagian bawah layaknya dilempari jutaan batu. Tubuhnya susah sekali digerakkan. Terasa panas dan menyakitkan sampai Briona hanya bisa merintih.
Pipinya hangat saat merasakan sesuatu mengalir dari ujung matanya. Sampai suara samar-samar mendengung, memanggil namanya berkali-kali.
“Briona ....”
Suara Dara, Briona paham sekali nada suaranya. Namun jangankan menyahut, untuk menggerakkan ujung jari saja dia kesulitan.
“Dia udah sadar kan, Ma?” Suara Dara yang tampak khawatir terdengar.
Untuk selanjutnya, Briona merasakan kelopak matanya ditarik ke atas, sebelum kemudian lampu menyorot silau. Dia sedikit mengernyit dan mengerjap.
“Briona, kamu bisa dengar saya?” Kali ini bukan Dara.
Namun demi merespon suara itu Briona dengan sekuat tenaga berusaha membuka mata. Dan meskipun berat, dia bisa melakukannya. Ruangan itu buram pada awalnya, namun sedikit demi sedikit mulai terlihat jelas. Sampai Briona menemukan dua kepala. Milik Dara, dan satu orang lagi yang Briona tidak tahu siapa.
Kedua orang di depannya memang tidak mengatakan apa-apa, tapi ... Briona tahu sekali, bahwa bayi di dalam perutnya sudah tidak lagi ada.
Dia benar-benar telah membunuh anaknya.
Sudahkah dia menjadi kejam setelah ini? Bolehkah dia bahagia? Tapi kenapa hatinya justru sakit sekali?
🌹🌹🌹
Cerita ini memang sedikit dark ya, gaesss. Masih kuat nggak nih, hatinya?
Satu kalimat untuk menguatkan Briona dong? Atau nasihat juga boleh. Karena gimana pun, tindakan Briona ini tetep salah, yaaa.
Vidia,
15 Agustus 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...