***
"Kami akan memantau keadaan di sekitar tembok itu sebentar." Elang memasang tali sepatunya yang dia simpul kuat.
Alvaro mengangguk setuju. "Gue sama Suwandi akan gabung sama beberapa orang yang sering mancing di bagian barat kebun ganja itu."
Alvaro memang memilih Suwandi sebagai partner. Dia juga sudah bersiap dengan pakaian sederhana yang membuatnya tidak begitu mencolok.
Elang keluar terlebih dahulu, di halaman pondok yang penuh dengan rumput liar, dia melihat Faye sudah berdiri menunggu di sana. Gadis itu memakai celana panjang yang ujungnya tertutupi sepatu bot. Sedangkan bajunya berwarna hijau gelap, menyaru pada dahan-dahan di sekitarnya. Rambut sepundaknya digelung ke atas, juga tudung baju yang dia sampirkan menutupi kepala. Seratus persen, Elang tidak akan menemukannya jika mereka berpisah di alam terbuka. Karena penyamaran gadis itu terlalu sempurna.
Keduanya mulai melangkah dalam hening. Untuk turun dari tanah tinggi pondok yang mereka tempati, Elang mengikuti Faye mengambil jalur barat, di mana mereka terpaksa menuruni tebing yang lumayan tinggi itu untuk sampai ke jalan utama lebih cepat dari pada lewat jalur timur, tempat di mana mobil bisa melaluinya.
Dan beruntungnya, mereka bisa melewatinya dengan mudah.
Jalan utama menuju desa tidak diaspal. Keriki-kerikil kecil masih berserakan. Jarak dari pondok yang mereka tempati ke desa terdekat sekitar dua ratus meter jauhnya.
Kepala Elang menoleh sekelilig meneliti sekitar. Hanya ada pohon-pohon pisang serta pohon tanaman milik warga yang lain. Ini memang kebun, tapi belum bisa dikategorikan sebagai hutan.
"Pemandangan yang paling jarang saya lihat di ibu kota." Elang membuka percakapan untuk kali pertama. Ladang hijau ini memang tidak seindah Bogor atau kebun wisata yang pernah dikunjungi Elang, namun nuansanya yang alami tetap menyegarkan mata.
"Itu karena pemerintah yang terlalu maruk dengan mengizinkan para kontraktor membasmi hutan dengan seenaknya," sahut Faye dengan ketus.
Elang mengangguk setuju.
"Karenanya saya paling malas saat diharuskan bertugas di Ibu Kota. Setiap harinya sesak dan sibuk sekali. Nggak nyaman." Faye belum berhenti bicara, ternyata.
Elang tidak keberatan akan hal itu. "Sepertinya kamu punya dendam kesumat terhadap pemerintah kita," celetuknya.
Faye tersenyum masam. "Bukan hanya saya, para rakyatpun pasti berpikir demikian. Menteri yang memakan uang rakyat seperti Denny Markov bukan hanya ada satu dua di Negara kita. Liat aja nanti, terlepas dari bisnis ilegalnya, hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si Markov itu atas dasar korupsi pasti lebih sebentar dari pada hukuman yang diberikan kepada orang yang maling pisang karena kelaparan."
Lagi, Elang memang setuju. Terlepas dari yang gadis itu caci-maki secara tidak langsung merupakan atasan mereka, namun memang itu benar adanya. Sudah banyak sekali kasus-kasus pemilik jabatan yang korupsi dengan hukuman yang membuat orang awam pun sampai geleng kepala. Bukan hanya itu, dengan uang serta kekayaan yang mereka punya, mereka bahkan bisa meminta penjara dengan fasilitas hotel bintang lima. Lucu sekali.
"Sebelah sini," Faye menuntun jalan. Sebelum mereka memasuki desa, Faye memilih mengambil jalan setapak ini. Masuk ke dalam kebun pisang rindang milik warga dan berjalan lurus. "Kita nggak bisa langsung lewat desa sebelum bersama para pemburu itu."
"Sudah berapa kali kamu memantau tembok itu?" Elang yang berjalan tepat di belakang gadis itu bertanya.
"Satu kali," jawab Faye tanpa menoleh ataupun berbalik. "Tim dari kejaksaan baru sampai tiga hari lalu ke tempat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romantiek[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...