🌹🌹🌹Kama keluar dari kamarnya pagi-pagi sekali. Perutnya yang sejak kemarin siang belum sempat terisi protes dengan mengeluarkan bunyi. Namun dia langsung mendengus ketika di meja makan tidak menemukan apapun yang bisa mengganjal perutnya.
“Sarah!” panggilnya kemudian. Lalu asisten rumah tangganya itu muncul dengan tergopoh-gopoh. Wajah mengantuknya terlihat sangat jelas. “Bikinin saya sarapan. Apa aja. Saya laper banget.”
Sarah yang matanya masih membengkak akibat menangis semalaman tidak membantah. Meski dalam hati merasa dongkol setengah mati terhadap tuan mudanya yang sudah menyebabkan nyonya tersayangnya pergi.
Kama duduk di kursi makan. Meraih ponsel dari saku celana, tidak ada pesan apapun dari orang-orang kantor, yang membuatnya teringat bahwa kini dirinya adalah seorang pengangguran.
“Tuan,” Sarah memanggil seraya meletakkan sekotak nasi di atas meja makan. “Nyonya kapan dijemput, Tuan? Tuan nggak khawatir Nyonya pergi sendirian?”
Mendengar itu, Kama mengernyit. Sebelum mengangkat wajah dari layar ponsel kemudian menatap Sarah. “Memang Briona sudah pergi?”
“Tadi malam, sekitar jam sepuluh. Masa Tuan nggak tau?”
“Ke mana?”
Sarah mengangkat bahu. “Mana saya tau. Kalau tau juga udah saya susulin.”
Kama mendengus sebal mendengar jawaban itu. Namun Sarah yang sadar segera melarikan diri demi mengambil lauk pauk lain yang akan dia hidangkan.
“Masakan kamu kok akhir-akhir ini jadi aneh, Sar?” protes Kama ketika mencimit telur dadar yang terasa hambar. Kemarin sup yang seolah memakai air laut, kini telur yang bahkan tidak ada rasa. Selera makan Kama hilang tak bersisa.
Sarah menelan ludah. Sepertinya janjinya kepada sang nyonya untuk menjaga rahasia tidak bisa dirinya tepati untuk saat ini. Biar saja, biar si tuan muda di depannya merasa menyesal setengah mati. Siapa tahu tuan muda memutuskan untuk menjemput si nyonya, kan? “Sebenernya Tuan, yang selama ini selalu masakin makan malam buat Tuan itu Nyonya.”
Kembali, kening Kama mengernyit, yang kali ini lebih dalam dari yang tadi. Tatapannya kepada Sarah terlihat tajam, menuntut penjelasan.
“Itu—nyonya bilang, dia pengin jadi istri yang baik. Tapi melarang saya untuk bilang kalau selama ini tuh, yang masak makan malam Tuhan itu Nyonya, bukan saya,” katanya.
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?” Terakhir kali Kama melihat Briona memasak, adalah saat menyambut kedatangan sang Mama tempo hari.
“Ya karena Nyonya ngancem akan potong gaji saya kalau saya sampe bocor. Katanya, kalau Tuan tahu Nyonya yang masak, Tuan nggak akan sudi lagi makan malam di rumah.”
Mendengar itu, Kama merenung. Bukannya dia kira selama ini Briona yang tidak sudi memasak makanan untuknya, ya?
🌹🌹🌹
Wisesa sedang merenung di depan meja kerjanya saat pintu di sudut ruangan terbuka tiba-tiba dengan suara keras. Wajah anak gadisnya muncul sesaat kemudian. Tampak kalut dan khawatir.
“Briona nggak masuk kantor hari ini. Aku telepon berulang kali juga nggak aktif,” adunya ketika sudah berdiri di hadapan sang Mama. “Setelah kemarin sore ketemu Mama di rumah sakit, dia ada bilang mau ke mana?”
Mendongak, Wisesa menggeleng. “Mama juga sudah menghubunginya berulang kali sejak tadi pagi. Ada tes kelanjutan yang harus dilakukan. Tapi tidak ada jawaban sama sekali.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...