🌹30; Pukulan

7K 726 19
                                    

🌹🌹🌹

“Pak Rajendra bilang, Mbak Bri yang meminta untuk tidak melibatkan pekerjaanku dalam masalah kalian. Aku nggak tau, gimana dia masih bisa sebaik itu padahal sudah kita khianati.”

Perkataan terakhir Aleta beberapa jam lalu masih mengusik benak Kama. Dia duduk di ruang kerjanya di lantai satu. Batinnya terus merenung ragu.

Briona tidak sebaik itu. Bukan hanya Kama yang menodai pernikahan mereka. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Berhubungan dengan Elang di balik kata ‘persahabatan’ yang selama ini digembor-gemborkan. Seolah Kama tidak tahu saja, tapi sayangnya, orang tuanya memilih percaya.

Kama kembali mengangkat wajah ketika pintu ruangannya kembali diketuk. Dia menghela napas, lalu mengizinkan masuk Sarah yang siap memberi laporan.

“Siapa lagi?” tanya Kama dengan wajah lelah.

Sarah langsung meringis. “Mas ... Elang. Sendirian. Mau ketemu Tuan Kama.”

Seketika, Kama mengernyit. Untuk apa orang itu ke mari dan berniat menemuinya? Juga ... “Kamu kenal Elang?”

Tatapan Kama langsung menelisik Sarah. Panggilan Sarah dengan menyematkan ‘Mas’ sebelum memanggil nama Elang terasa akrab sekali. Jangan bilang pria itu sering mampir ke mari saat Kama sedang tidak ada di rumah?

“Mas Elang sering kirim makanan buat Nyonya lewat pintu gerbang, Tuan. Nggak pernah masuk. Ini pertama kalinya.” Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan sang Tuan Muda, Sarah segera menyela.

Namun jawaban itu tidak membuat Kama lebih baik ternyata. Dia tetap mendengus sebelum memutuskan untuk keluar.

“Lo sama sekali nggak tau di mana Briona?” Elang langsung berdiri begitu dilihatnya Kama keluar dari ruangannya. Kantung matanya menghitam dengan wajah acak-acakkan dan rambut berantakan.

Kama yang mendapat sambutan dengan pertanyaan tak terduga itu langsung mengernyit. “Dia pergi karena gue, kalau lo lupa.”

“Aish ...!” Elang mengacak rambutnya. Lagian kenapa bisa dia bisa menyimpulkan kalau saja Kama tahu keberadaan Briona yang dua hari ini tidak bisa dihubunginya? Pikiran impulsifnya memang ngawur sekali. “Seharusnya dari awal gue nggak biarin dia pergi.”

Kama melengos. Dia melipat tangan dan duduk bersilang kaki memperhatikan tingkah Elang yang tampak kalut. Dia penasaran, tapi juga malas bertanya.

“Dia sakit ....” Elang berkata lirih. Dia tentu tetap membiarkan Briona menyendiri jika sang Mama tidak memberitahu kondisi gadis itu. Dan begitu mengetahuinya, Elang khawatir setengah mati. Perempuan itu harus segera diobati, tapi malah menghilang begini.

Ingatan Kama seketika menjelajah di malam terakhir sebelum Briona membongkar hubungan Aleta di depan kedua orang tuanya. Perempuan itu bilang, dia pulang dari rumah sakit. Apa ini berhubungan dengan tamu bulanannya?

“Ini ... Apa karena dia selalu sakit tiap datang bulan?”

Mendengar itu, Elang langsung menatap marah. Urat-urat di lehernya tampak menonjol dengan mata memerah. “Sejak tujuh tahun lalu.” Elang menggeram. Kedua tangannya mengepal erat menatap Kama. “Dia kesakitan sejak tujuh tahun lalu.”

Kama berdiri dengan kening berkerut dalam. Apa maksud dari ucapan Elang? Kenapa dia mengatakan tujuh tahun lalu? Apa ini ada hubungannya dengan ....

Elang tidak membiarkan Kama berpikir lebih lanjut karena dengan segera dia melayangkan pukulan mengenai rahang pria itu. Napasnya terengah setelah melihat Kama terhuyung mundur sambil menyentuh ujung bibirnya yang terluka.

“Apa maksudnya?” Kama tidak terima tiba-tiba dipukul oleh seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya dengan dekat. Jika memang benar pria itu adalah kekasih gelap Briona, bukankah dia yang lebih pantas melakukan itu?

“Pukulan bahkan nggak cukup.” Elang berbalik sambil berkacak pinggang, juga berusaha menormalkan napasnya yang memburu. “Gue seharusnya bunuh lo sejak dulu.”

“Briona—” Kama memilih mengabaikan rasa nyeri di bibirnya. Juga berusaha untuk menahan rasa kesal di dada kepada Elang yang tiba-tiba memukulnya tanpa alasan. “Sakit apa?”

Elang berdecih. Berbalik menatap Kama dengan rendah. “Gue emang nggak seharunya ke sini.” Lalu, dia berjalan cepat menuju pintu. Berniat keluar dan mencari cara lain demi menemukan Briona.

Elang menutup keras pintu mobilnya, lalu menoleh dan mengernyit saat mendengar suara keras yang sama. Dia mendesah.

“Ke Menteng.” Kama yang mengikuti Elang hanya menatap lurus ke depan. “Gue yakin orang tua gue tau keberadaan Briona.”

🌹🌹🌹

“Mama nggak kasih tau aku, tapi ngasih tau Mas Elang?!” Dara menerobos pintu kerja Wisesa dengan napas terengah. “Mama tau dia nggak akan bisa berpikir rasional kalau tau Bri lagi sakit, kan?”

Wisesa dengan kacamata bacanya mendongak, mengalihkan perhatiannya dari kertas di tangannya. “Mama tau.”

“Aku yakin banget nggak lama lagi orang tua Briona akan menelepon ke sini.” Duduk di hadapan sang Mama berbataskan meja seperti biasa, Dara mengurut pangkal hidungnya karena kepalanya mendadak pening.

Wisesa tampak menggigit bibir. Perlahan, dia melepaskan kacamata dan mulai menatap si putri keduanya dengan tatapan serius. “Sebenarnya ... Atas kejadian yang menimpa Briona tujuh tahu lalu, Melody ataupun Rajendra sudah tau.”

Hening.

Perlahan, Dara mengangkat wajahnya. Matanya yang memerah menatap Wisesa lekat. “Apa ... Ini ada hubungannya dengan Tante Melody yang tiba-tiba minta Briona dan Kama menikah?” Setengah linglung, Dara menebak. Hari itu, cukup aneh untuknya mendengar cerita versi Briona. Di mana Melody yang tiba-tiba menangis dan berlutut, meminta ampun serta memohon kepada Briona untuk bersedia menikahi putra semata wayangnya.

“Mungkin. Waktunya berdekatan sejak Melody datang ke sini dan menuntut penjelasan dari Mama.” Kemudian, Wisesa menumpukan lengan ke meja, lalu menyugar rambutnya dan mendesah. “Mama nggak tau dia akan bersifat impulsif dengan menikahkan Kama dan Briona.”

“Lagian kenapa Mama harus cerita sih, Ma?” Dara menatap sang Mama dengan putus asa. Matanya berkaca-kaca. Sebagai satu-satunya teman yang selama ini selalu berada di sisi Briona dan tahu pasti lika-liku perjalanan hidupnya, tentu Dara merasa sedih setengah mati. “Briona pasti kecewa. Mama tau banget gimana dia nggak mau mengkhawatirkan kedua orang tuanya.”

“Tapi Melody juga harus tau, kalau putra semata wayangnya yang dia anggap sempurna juga memiliki cela. Mama nggak tahan melihat anaknya berkeliaran tanpa beban sedangkan Briona menjalani kesulitannya sendirian.”

Wisesa hanya tidak mengira bahwa Melody memilih jalan yang tidak diduganya. Menikahkan Kama dengan Briona untuk mempertanggungjawabkan apa yang putranya lakukan. Alih-alih memberitahu, apa yang dilakukan Melody memang mampu membuat Kama tersiksa sedemikian rupa.

Bukan hanya Kama, tapi juga Briona.

🌹🌹🌹

Hmm, kira-kira di part depan bakal ada apa, ya? 🤔

Vidia,
02 Oktober 2021.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang