🌹🌹🌹
Kama dilanda kalut. Dia berlari keluar dari gerbang rumah orang tuanya, melewati hutan pinus sepanjang tiga ratus meter dari jalan raya.
Dengan air mata menggantung, ingatannya kembali pada siang menyengat, juga matahari yang sedang terik-teriknya, di mana dia dengan tidak berperasaan menurunkan Briona, yang saat itu sedang memakai sepatu berhak tinggi, sendirian di sini. Tidak cukup di situ, Kama justru tidak merasa menyesal sama sekali meskipun melihat tumit Briona yang jelas-jelas membiru. Dan parahnya, dia tetap membiarkan wanita itu berjalan kembali untuk kedua kali.
Dia sedang tidak ingin mencari pembelaan atau lainnya, dia hanya ingin merasakan apa yang Briona rasakan saat berjalan kaki dari rumah orang tuanya menuju jalan raya. Cukup membuat lelah juga, ternyata. Napas Kama langsung tidak beraturan begitu dia memasuki sebuah taksi yang kebetulan melintas.
Menyebut alamat rumah miliknya, dia kemudian membuang wajah keluar jendela. Matanya masih terasa panas. Berkaca dilandasi dengan dadanya yang sesak seolah jutaan ton beban menumpuk di sana.
Perasaannya tercabik begitu dia tahu bahwa ... Dia hampir mempunyai bayi. Tujuh tahun lalu, seandainya Kama tidak mengacau dengan mengabaikan Briona, apakah wanita itu akan tetap mempertahankan janinnya? Bayi mereka?
Lalu kenapa Briona tega sekali. Tidak memberitahu Kama dan membiarkannya seenaknya berlaku di hadapan wanita itu?
Begitu sampai di gerbang rumahnya sendiri Kama langsung loncat turun setelah membayar ongkos taksi. Keningnya mengernyit saat ada satu mobil boks terparkir tepat di pintu rumahnya.
Sarah menghampiri segera. “Ini mobil yang disuruh Nyonya buat angkut bunga-bunganya, Tuan.”
Kama kemudian mengangguk. Untuk saat ini, meskipun dia keberatan jika mawar-mawar peliharaan Briona dibawa pergi, dia tidak akan melarang. Keterlaluan sekali bersikap egois padahal sebelumnya Kama berlagak tidak mempedulikan apapun yang Briona lakukan.
Untuk saat ini bukan itu yang dia pikirkan. Dia segera menuju kamarnya dengan ponsel menelepon Candra, sekretaris Briona yang kadang masih sudi untuk Kama suruh-suruh. “Tolong pesankan tiket penerbangan, malam ini juga. Saya tunggu.”
Lalu masuk ke dalam kamarnya demi mengemasi baju juga barang-barang dengan asal. Dia harus membawa Briona pulang. Apapun yang terjadi, semoga saja kedatangannya tidak didahului oleh Elang.
🌹🌹🌹
“Diminum dulu, Bri.” Rumi meletakkan segelas air jahe hangat yang masih mengepul ke atas meja kecil di samping ranjang yang sekarang sedang ditempati Briona.
Briona bangkit, menahan diri untuk tidak meringis kala nyeri teramat sangat menyerang perut bagian bawahnya, tepat di bawah pusar. Perlahan, diraihnya cangkir yang menguarkan aroma kuat penuh kehangatan dari rempah-rempah itu, sebelum Briona menyesapnya sedikit. Agak pedas, tapi juga hangat dan segar.
“Terimakasih, Nek.”
Malam ini nyeri di perut Briona belum juga mereda. Membuat seluruh isi rumah mengkhawatirkannya. Padahal, Briona sudah mengatakan bahwa ini adalah hal biasa. Tidak perlu cemas karena dia tidak apa-apa. Namun tetap saja, tadi sore Nek Rumi dan suaminya pulang dari sawah lebih cepat dari biasa, karena Ayu mengadukannya akibat khawatir karena Briona belum juga beranjak dari tempat tidur.
“Apa nggak sebaiknya periksa, Nduk?” tanya Rumi dengan raut khawatir yang sama. Dia memijat-mijat jempol tangan Briona berharap bisa meredakan nyerinya. “Nenek khawatir ada apa-apa.”
Briona tersenyum. Dia menggenggam tangan Nenek Rumi yang memijat jempolnya dengan tangan lain. “Nggak apa-apa, Nek. Ini sudah biasa sekali.”
Rumi masih diam. Namun jelas tatapan cemasnya masih terlihat kental.
“Malam ini bunganya sudah siap diangkut, Nek. Kalau di Jakarta nggak macet, mungkin besok siang sudah sampai.” Briona mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kamu yakin mau menyumbangkan semua bunga kamu untuk Nenek?”
Briona mengangguk. “Aku juga akan bantu merawat mereka di sini.” Lalu tersenyum. Briona merasa bahagia tinggal bersama Nenek Rumi dan keluarganya. Di desa yang asri, para tetangga yang ramah, udara segar tanpa polusi. Itu seperti surga. Dan Briona bahkan sedikit lupa dengan masalah pelik yang menunggunya di kota.
“Ibuk!” Pintu kamar Briona dibuka secara tiba-tiba bersamaan dengan panggilan Ayu.
“Ada apa?” Rumi menoleh. Menyadari mata gusar sang putri bungsu, dia berdiri dan mendekat.
“Ada suami—mantan Mbak Bri di depan,” bisiknya. Namun karena ruangan itu cukup kecil, tentu masih sampai di telinga Briona.
Rumi kembali mendekat ke arah wanita yang tampak pusat pasi di atas tempat tidur. Ekspresi yang ditampilkan Briona datar tidak terbaca. Namun siapapun yang melihatnya tentu akan tahu, bahwa berjuta emosi sedang tertahan di sana.
“Kamu istirahat aja.” Rumi bergerak menyelimuti kaki Briona yang masih mematung. “Biar Nenek yang menemui.”
Namun saat sang Nenek hendak berbalik, Briona menahannya segera. “Aku aja.” Dia tahu sekali Kama tidak akan ke sini jika tidak ada yang ingin pria itu bicarakan. “Aku juga butuh bicara sama dia, Nek.”
🌹🌹🌹
Biar pada penasaran aku up satu lagi, deh. Hehehe.
Setelah baca bab ini, bisa tebak nggak apa isi pembicaraan mereka selanjutnya?
A. Emosional penuh
derai air mata.B. Marah menyala
bagai bara api :/C. Adegan baku hantam.
Dan untuk part selanjutnya, kalau masih penasaran, bisa baca duluan di Karyakarsa. Dan kalau kalian memilih untuk bersabar, kita bisa nunggu bareng-bareng di sini yang nggak tentu kapan upnya. Muehehe.
Sooo, selamat membaca ❤
Vidia,
04 Oktober 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Storie d'amore[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...