🌹36; Malam Itu

6.2K 675 19
                                    

🌹🌹🌹

Briona memilih untuk pulang. Bagaimanapun, meskipun dia menganggap bahwa rasa sakitnya belum sepadan atas apa yang diperbuatnya terhadap Ganendra, dia tetap harus berusaha untuk sembuh.

Tujuh tahun dia menanggung semua bersama lara. Bersama penyesalan yang menumpuk membuatnya berpikir, bahwa mungkin, kematian lebih baik dari pada hidup penuh duka. Namun Briona, mulai sekarang, akan menepis pemikiran itu jauh-jauh. Dia tidak akan menodai kematiannya dengan dosa. Jika memang banyak sekali dosa yang harus ditebusnya selama hidup, dia tidak mau menambah-nambahi dengan bunuh diri.

Kesembuhan akan dirinya perjuangkan. Jika memang berakhir gagal dan ada kemungkinan dirinya tidak bisa diselamatkan, itu sudah bukan urusan Briona lagi. Juga, harapan Briona untuk tetap hidup meningkat pesat ketika melihat senyum keluarga Nenek Rumi, rumah sederhananya, serta desa asri yang menyejukkan hati. Harapan Briona untuk menetap di desa dan meninggalkan kota yang pengap setidaknya masih ada.

“Hati-hati di jalan ya, Mbak Bri.” Ayu memeluknya. Briona membalas dengan tak kalah eratnya.

“Titip mawar-mawar Mbak ya, Yu. Nanti Mbak ke sini lagi bantuin kamu ngurus bunga-bunga Ibuk.” Lalu mengendurkan pelukannya demi beralih ke Nek Rumi.

“Hati-hati, Nduk. Salam buat Ibu Melody. Maaf Nenek belum sempat ke Jakarta buat sialturahmi.”

“Nanti Bri sampaikan. Nenek juga jaga kesehatan, ya. Jangan banyak minum kopi, nanti asam lambung Nenek kambuh.”

Dan setelah perpisahan yang sedikit emosional itu, Briona naik memasuki mobil pikap yang dikendarai oleh Suryo. Dia duduk di dekat jendela, membiarkan Kama berada di tengah dan menemani Suryo mengobrol.

“Kalau musim padi di sini itu biasanya satu tahun sampai dua kali. Apa lagi setiap akhir tahun, banyak warga desa menyiapkan pesta setelah panen besar.” Suryo kemudian tertawa dengan suara keras.

“Akhir tahun sebentar lagi, berarti ini lagi sibuk-sibuknya mau panen ya, Kek.” Kama menanggapi. Matanya melirik ke luar jendela di mana sawah terhampar berwarna kuning. Padi-padi gemuk yang merungguk itu menjadi pemandangan yang memanja mata.

“Ya ... Kalau sempat, akhir tahun mainlah ke sini lagi. Nanti Kakek kasih kabar lewat Ayu kalau ada pesta di desa.”

Meskipun Kama yakin pesta yang disebutkan Kakek Suryo itu tidak ada penyanyi musik terkenal atau sampanye mewah untuk disesap layaknya pesta-pesta yang sering Kama kunjungi, namun dia tetap mengangguk antusias. “Sepertinya seru.”

Mobil pikap yang dikendarai Suryo berhenti di terminal bus yang terletak di pusat kota Jogjakarta. Permintaan dari Briona, dia tidak ingin pulang naik pesawat. Ingin mencoba melakukan perjalanan darat yang sepertinya layak untuk dicoba.

Membuat Kama geleng-geleng tidak percaya. Menurutnya, dari pada menghabiskan waktu sampai tepos dengan duduk seharian di dalam bis, lebih baik naik pesawat saja. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, mereka sudah sampai di rumah dan Briona bisa langsung ke rumah sakit.

Namun sang ‘istri’ sepertinya sedang bosan menjadi orang kaya dengan menolak usul Kama. Dia bahkan berkata Kama boleh pulang duluan menggunakan pesawat dan Briona akan menyusul menaiki bus. Ada-ada saja.

Setelah memasuki bus dengan fasilitas eksekutif, keduanya duduk di bangku bus yang sesuai dengan nomor tiket.

Briona yang kembali duduk di dekat jendela segera mengaktifkan ponselnya. Berhubung mereka sudah ada di kota, sinyal tersedia. Pesan masuk dan juga panggilan tak terjawab membeludak. Dari Mama, Papa, Dara, Tante Wisesa, dan yang paling mendominasi adalah pesan dari Elang.

“Halo, Ma.” Suara Kama terdengar di sampingnya. “Iya ini baru ada sinyal—”

Briona hendak menekan ikon hijau pada kontak sang Mama, namun sepertinya Kama sudah lebih dulu menghubungi Melody. Akhirnya, dia memencet nama Elang. Pemuda itu pasti mengkhawatirkannya.

“Astaga Bri, kenapa baru nelepon aku sekarang?!” Suara Elang menyahut kemudian.

“Di sini nggak ada sinyal.”

Suara helaan napas terdengar kemudian. “Di sini juga. Tapi beruntung kamu nelepon di saat yang tepat.”

“Memangnya kamu lagi di mana?”

Kalimantan. Bajingan itu berhasil bawa kamu pulang?

“Aku yang mau pulang sendiri.” Briona melirik Kama yang mulai mematikan sambungan teleponnya.

Ya, memang harusnya begitu.” Lagi, Elang tampak membuang napas.

“Kamu ngapain di Kalimantan?” Suara di ponsel Briona mulai grasak-grusuk. “Elang?”

Ada—yang—aku—urus—di—sini—” Kalimatnya putus-putus, lalu mati.

Briona mengamati ponselnya. Sepertinya di tempat Elang memang benar-benar susah sinyal.

“Dia di Kalimantan?”

“Hm?” Kepala Briona menoleh ke arah Kama yang tiba-tiba bertanya, lalu mengangguk. “Lagi susah sinyal juga ternyata.”

Kama mengangguk mengerti. Sebelum menyandarkan kepalanya dan memandang lurus ke depan. Isi bangku bus mulai terisi satu persatu kemudian muncul pemberitahuan dari kondektur bus melalui spiker bahwa bus akan segera melaju.

“Bri,” Di situ Kama memanggil. “Kamu tau kenapa aku menolak keras pernikahan kita sejak Mama mengusulkannya?”

Mendengar itu, Briona mendongak seketika. Setelah tiga hari, ini kali pertama masalah itu dibahas. “Karena Mas Kama mencintai Aleta.” Itu adalah jawaban yang jelas. Kenapa pula Kama menanyakannya.

Mata Kama memejam. “Selain itu?”

“Karena Mas Kama nggak mencintaiku,” jawabnya lagi dengan yakin.

Kama langsung membuka mata. Entah apa arti tatapannya, namun Briona yakin seratus persen ada yang pria itu sembunyikan di sana.

Menggeleng, Kama membuka bibir. “Bukan.”

Briona tidak lagi bersuara. Ikut menyandarkan kepalanya dan memandang ke depan, di mana perlahan bus mulai melaju. Kendati Kama masih belum memalingkan wajah dan menatapnya, namun kali ini Briona tidak akan menjawab sama sekali.

“Kamu ingat di mana Mama pertama kali mengutarakan keinginannya untuk menikahkan kita?”

Briona mengangguk. Ingat, tentu saja. Malam di mana Melody berhasil memaksanya menganggukkan kepala. Di rumah besar Nareswara.

“Setelah itu kamu kembali ke kantor, kan?” tanya Kama.

Lagi, Briona menganggukkan kepala.

Lalu, Kama kembali memandang ke depan. Kini keduanya tidak ada yang menjalin kontak mata. Menatap depan di mana bus mulai bergabung bersama kendaraan lainnya.

Pria itu tampak membuang napas sebelum mengucapkan, “Malam itu ... Aku lihat kamu dan Elang berciuman. Di parkiran.”

🌹🌹🌹

Semoga terhibur setelah membaca part ini, muehehe.

Vidia,
10 Oktober 2021.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang