🌹🌹🌹“Kamu nangis?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Elang sesaat setelah Briona masuk ke dalam mobilnya.
Briona balas menatap, sebelum kemudian menggeleng dan membuang muka. Bagaimanapun, tetap saja, mata merahnya tidak lepas dari pengamatan Elang.
“Kenapa aku harus nunggu kamu di sini? Aku bisa masuk dan kamu nggak harus jalan sejauh ini, kan?” tanya Elang lagi ketika mobil yang dikendarainya mulai berjalan pelan.
“Kalau kamu datang, semuanya akan bertambah rumit.” Akan semakin menguatkan dugaan Kama jika Briona dijemput Elang dari rumah orangtuanya. Dan tentu, Briona tidak pernah mengharapkan itu.
Menghela napas, Elang diam-diam membenarkan. Bagaimanapun, meskipun hubungan spesifik dirinya dengan Briona telah lama usai, dia tahu sekali Kamandaka tidak pernah berpikir demikian. Terbukti dari wajahnya yang berubah masam setiap kali mereka tidak sengaja berpas-pasan.
“Aku sudah hubungi temanku.” Elang kembali berbicara. “Kamu tidak perlu hadir di pengadilan kalau tidak mau.”
Briona memang meminta bantuan Elang untuk mencarikan pengacara karena dia tidak yakin bisa menghadapi semuanya seorang diri. Dia hanya ingin lepas dari Kama sesegera mungkin.
🌹🌹🌹
Setelah mendapat ultimatum dari sang Papa, Kama memutuskan pulang. Jabatannya dicabut, itu artinya dia sudah tidak lagi berhak campur tangan di perusahaan.
Langkahnya lunglai, wajahnya tampak lelah ketika sampai ruang tamu dan mendapati Briona sedang duduk bersidekap di sana.
Kama tahu wanita itu menunggunya, namun dia yang sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk berdebat memilih melanjutkan langkah.
“Papa menghubungi aku,” ucap Briona menginterupsi.
Kama berhenti. Dia tahu Briona berdiri dan kemudian berada beberapa langkah di belakangnya.
“Dia bilang, dia mencabut semua yang sudah diberikan untuk Mas Kama.”
Kama berdecih, “Puas kamu?”
Gelengan kuat dari kepala Briona tidak bisa dilihat Kama, tentu saja. “Aku nggak tahu Papa akan bersikap sejauh itu,” katanya kemudian menunduk.
Kama berbalik segera. Matanya menatap nyalang, perasaan marah dan gerah yang seharian ini bergumul dalam dadanya terasa menemukan muara untuk dilampiaskan. “Yang selama ini menjadi anak Mama dan Papa kan kamu, Bri. Bukan aku. Nggak peduli kesalahan siapa lebih besar dari kesalahan siapa, yang dapet hukuman tetap aku.”
“Aku nggak bermaksud begitu.” Briona tetap menyangkal. “Aku pikir, selama ini Mas Kama sangat ingin terlepas dari perceraian ini. Aku nggak bisa melangkah untuk mengajukan gugatan karena takut Mama dan Papa kecewa ....”
“Tapi akhirnya, kamu tetap melakukannya, kan?”
“Itu karena Mas Kama berniat mengkambing hitamkan aku!” Briona berteriak tidak terima. “Aku sama Elang nggak ada hubungan apa-apa selain karena kita dekat sejak dulu. Dan aku pikir, karena Mas Kama sangat menginginkan perceraian, aku akan melakukannya lebih dulu.”
Kama akhirnya menghela napas. Di situlah dirinya menemukan tatapan putus asa dari wanita yang selama ini selalu berusaha bersikap tegar menghadapi tingkahnya. Selaput bening menyelimuti netra Briona.
“Seandainya aku bilang, kalau aku dan Aleta tidak ada hubungan apa-apa selain karena dia sekretarisku, apa kamu percaya?” Kalimatnya melirih. Sadar bahwa Briona pun sama terluka nya.
Mata bulat itu mengerjap sesaat. Lalu menggeleng. “Mas Kama sama Aleta selalu sama-sama.”
“Itu yang aku pikirkan saat kamu berulang kali menegaskan hubunganmu dengan laki-laki itu! Kalian juga selalu sama-sama, lalu kenapa yang lebih Papa dan Mama percaya hanya ucapan kamu saja?”
Briona diam. Dia juga tidak tahu. Mama dan Papanya selalu percaya terhadap apapun yang dia katakan, sejak dulu. Meskipun Briona adalah anak yang tidak suka berbohong, namun tetap saja, kepercayaan yang orangtuanya berikan terlalu berlebihan. Briona baru menyadarinya sekarang. Meskipun dia dan Elang memang tidak mempunyai hubungan, melihat kedekatan mereka, seharusnya tidak ada yang percaya jika Briona menyangkal, kan?
Namun saat Briona sedang larut dalam lamunannya sendiri, Kama segera mengibaskan tangan. “Lupakan saja,” katanya berbalik.
“Aku akan pergi.” Briona kembali bersuara meskipun kakinya tidak bergerak dari tempatnya sama sekali. “Aku akan bicara sama Papa untuk tidak melakukan apapun kepada Mas Kama. Karena bagaimanapun, aku juga menginginkan perceraian ini.”
Di bagian itu, entah kenapa dada Kama terasa seperti tertusuk sembilu. Sakit juga ternyata bahwa wanita yang selama ini diam saja, pasrah diperlakuakan layaknya manusia tak kasat mata, juga sebenarnya tertekan dan ingin segera keluar dari jerat yang ada. Bukan hanya Kama, Brionapun sama menderitanya di dalam pernikahan mereka.
“Kamu nggak perlu melakukan semua itu,” balas Kama sebelum kembali melanjutkan langkah. Percuma saja, mau bagaimanapun, Papanya adalah laki-laki yang keras kepala. Tidak peduli Kama memohon ampunan di bawah kakinya, kesalahan yang Kama lakukan tidak bisa ditoleransi lagi. Dan Kama memilih abai, jika dirinya yang disingkirkan, maka dia tahu diri akan menyingkir dengan sendirinya tanpa disuruh dua kali.
🌹🌹🌹
Briona tetap mengemas beberapa barangnya, tidak mungkin dibawa semua karena itu akan memakan banyak waktu. Dia akan menyingkir segera, menenangkan pikirannya sendiri yang beberapa hari ini terasa amburadul tak karuan.
“Nya, kalau Nyonya pergi saya sama siapa?” bujukan serta tangisan dari Sarah juga belum berhenti sejak tadi. Meskipun dengan isakan asisten rumah tangganya itu tetap membantu memasukkan baju-baju milik Briona ke dalam koper besar.
“Kan ada Mas Kama,” jawab Briona. “Lagi pula, saya juga butuh berlibur, Sar.” Dia butuh menyenangkan diri sendiri.
“Tapi nanti balik lagi kan, Nyah?”
Kali ini, tidak ada jawaban dari Briona. Dia sendiri pun tidak tahu. Ini bukan rumahnya. Ini rumah milik Kama yang pria itu persiapkan untuk masa depannya bersama Aleta, mungkin. Dan Briona hanya sosok lain yang menghancurkan semua impian yang susah payah pria itu bangun.
Selesai dengan barang-barangnya Briona berdiri. Tersenyum sendu sebelum memeluk Sarah erat. Bagaimanapun, tanpa kehadiran Sarah di rumah ini, Briona selalu merasa sendiri. “Nanti kalau ada orang yang mau mengangkut mawar-mawar saya, suruh masuk aja.”
“Nyonya—” Sarah kian mengeratkan pelukan saat dirasa sang nyonya hendak melepasnya. “Nyonya janji dulu seandainya nanti butuh ART untuk rumah baru Nyonya, Nyonya harus bawa saya.”
Briona kembali tersenyum. Menepuk pundak Sarah. “Saya janji.”
Lalu dia menguatkan hati untuk turun. Taksi yang dipesannya sudah menunggu di depan, dan Briona bisa langsung masuk setelah membuka gerbang.
Dia harus menjauh. Entah untuk sesaat atau selamanya. Dan beruntungnya, itu disetujui oleh Mama dan Papa setelah Briona memberikan alamat yang ditujunya dengan sangat jelas.
Mengabaikan diagnosa Tante Wisesa sore tadi, dia nekat untuk pergi. Tidak peduli tubuhnya yang sakit perlu untuk diobati.
🌹🌹🌹
Yuuuk peluk Bri nya, yuuuk 😭
Vidia,
23 September 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...