🌹17; Mimpi Buruk

4.7K 627 40
                                    

🌹🌹🌹

Bila Melody menginap, Kama dan Briona memang harus tidur berdua, di dalam kamar yang sama. Namun meskipun begitu, setelah Kama mengunci pintu agar sang Mama tidak akan sembarang masuk, jangan harap mereka akan berbagi ranjang yang sama. Karena kenyataannya, Briona selalu tidur di atas kasur lantai yang memang Kama sediakan.

Tidak ada sofa di sini. Dan Briona menggelar kasur itu di sudut ruangan, tempat terjauh dari ranjang besar tempat Kama biasa beristirahat.

Meskipun bangun pagi punggungnya akan sakit karena kasur lantai ini tidak seempuk busa di kamarnya, tapi tidak apa-apa. Briona hanya tidak mau keberadaanya di kamar Kama membuat pria itu tidak nyaman saja.

“Mau ke mana?” Kama bertanya di atas peraduannya kala melihat Briona yang hendak membuka pintu.

Perempuan itu menoleh, “Barangku ketinggalan di kamar.” Kenapa Kama ingin tau?

“Bisa diambil nanti aja? Mama bisa tiba-tiba masuk dan lihat kasurmu.”

Briona menggigit bibir, sebelum menurut dan masuk ke dalam selimutnya. Benar, Mama biasa belum tidur jam segini.

Dan setelah mengerjap beberapa lama, kantuk hadir menghantui Briona. Namun Briona segera menggeleng panik. Takut jatuh tertidur tanpa meminum obatnya terlebih dahulu.

Ya, yang ingin dia ambil adalah obatnya. Obat tidur yang selalu menemaninya setiap malam.

🌹🌹🌹

Langit kelabu.

Kemudian kabut hitam menyesakkan itu datang lagi. Membuat Briona yang entah sedang berada di mana tiba-tiba saja kehilangan udara kala kabut tebal itu menyergapnya tanpa ampun. Tidak ingin terbawa angin, mengelilingi tubuh Briona yang tampak pengap. Paru-parunya kekurangan pasokan oksigen.

Dengan pandangan buram, Briona mencoba melangkahkan kaki, pergi dari serbuan kabut yang mengerikan. Namun hasilnya tetap sama, gagal.

Lalu setelah berusaha, akhirnya kabut hitam itu perlahan menyingkap. Membuat mata Briona yang perih mengerjap. Kemudian terkejut luar biasa saat seolah, ingatannya kembali pada sosok janin yang telah dibunuhnya.

Sosok itu tampak nyata. Meringkuk kedinginan di atas tanah yang Briona tidak tahu di mana.

“Bri ....” Kemudian ada suara. Bergaung di kepala Briona.

“Elang!” Briona mencoba berteriak menyerukan nama itu. Namun gagal, karena suaranya justru tertahan di tenggorokan.

“Briona!”

Briona membuka mata. Terengah-engah dengan tubuh seolah melayang kala yang dilihatnya adalah ruangan temaram, juga ... Kama yang tampak panik. Kepala pria itu tepat di atas wajah Briona.

Hal yang selalu dirasakan Briona setelah mimpi itu datang kemudian dia membuka mata tiba-tiba adalah kepalanya yang sakit terasa seperti dihantam batu godam.

Sedangkan Kama yang menyaksikan sendiri bagaimana perempuan itu meringis kesakitan sambil mengurut pangkal hidungnya segera berdiri, menuangkan air ke dalam gelas sebelum memberikannya kepada Briona yang sedang mencoba untuk duduk.

Napas perempuan itu masih terengah-engah ketika menerima gelas pemberian Kama. Dia diam memperhatikan.

Sejak tadi, Kama belum tidur sama sekali. Dari ranjangnya dia bisa melihat Briona yang tidur dengan gelisah. Bergerak tidak nyaman, sebelum merintih dan terlihat kesulitan untuk bernapas. Karena Kama masih mempunyai rasa kemanusiaan terhadap perempuan n itu, Kama segera bergerak membangunkan. Perasaan khawatir menyergap dengan sendirinya.

Lalu setelah meletakkan gelas pemberian Kama dengan asal ke lantai, Briona menekuk lutut, memeluknya, lalu menangis dalam diam.

Mimpinya buruk sekali. Kenapa setiap dia lupa meminum obat, yang datang justru sosok janin yang mengerikan? Apa anaknya masih belum terima dengan perlakuan Briona? Briona memang tidak berharap untuk dimaafkan, tapi sosok yang hadir di mimpinya membuat Briona seolah diingatkan, bahwa dia pernah menjadi perempuan yang sangat mengerikan.

Kama menghela napas. Dia tidak tahu harus melakukan apa ketika pertama kali melihat Briona yang tampak ketakutan dan menangis memeluk lututnya sendiri. Dugaannya tentang mimpi buruk sepertinya benar adanya. Dan karena tidak tega dan takut suara tangis Briona dapat membangunkan sang Mama, Kama menyentuh pundak perempuan itu.

“Tenang ....” Dia mengusap pelan pundak sang istri yang masih belum mau mengangkat wajahnya. “Jangan takut.”

Mendengar itu, Briona mengangkat wajah. Pertama kali setelah tujuh tahun, dia kembali bisa menatap wajah Kama dalam jarak dekat. Apa boleh sekali saja Briona merasa senang dengan kehadiran pria itu? Karena bagaimanapun, meskipun Kama tidak tahu, mereka berdua tetap sama-sama kehilangan, kan? Pria itu pasti turut sedih jika tahu bahwa putranya tiada bahkan sebelum dia sempat melihat dunia. Atau justru malah membenci Briona karena dia yang membunuhnya?

Lalu dia diam saja ketika merasakan tubuhnya terangkat. Kama membawanya menuju ranjang yang biasa Kama tiduri dan meletakkannya di sana dengan hati-hati. Menyelimuti Briona tak kalah pelannya pula. Kontras sekali dengan sikapnya yang selalu defensif selama ini.

Dan saat Kama berniat untuk beranjak, batal karena Briona menarik ujung piyamanya. Pria itu menoleh, berdiri di sisi ranjang dan dengan matanya yang datar menatap Briona yang masih tampak terengah dan ketakutan.

Di benak Briona, dengan sisa kelembutan yang baru dirasakannya dari Kama setelah sekian purnama, bolehkan dia merasakannya kembali sedikit lebih lama?

“Temani aku,” katanya kemudian. Briona hampir putus asa menahan malu ketika Kama justru diam saja. Perlahan, dilepaskannya ujung piyama Kama sebelum menunduk.

Sepertinya keputusannya terasa tidak tahu diri. Dia terbuai oleh sebuah tatapan khawatir dan berharap lebih, di mana itu seharusnya tidak boleh terjadi.

Kama yang melihat raut itu menghela napas, sebelum memutuskan untuk duduk di sisi ranjang, jemarinya bergerak mengusap rambut Briona yang basah karena keringat. Bagaimanapun, meskipun Kama membenci Briona dengan amat sangat, Briona tetap adiknya. Pernah menjadi adiknya sebelum dirinya sendiri jatuh cinta.

Kama tentu tidak bisa lepas khawatir ketika perempuan yang terbiasa datar dan penurut itu tiba-tiba menunjukkan kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan yang tidak tahu disebabkan oleh apa.

Dan untuk kali ini saja, Kama bersedia melunakkan sedikit hatinya. Meskipun gelora mengerikan itu kembali menguap, seolah siap meledak karena terlalu lama terpenjara. Namun Kama berhasil menahannya sekuat tenaga.

“Tidur,” perintahnya kemudian. Tangannya yang semula berada di kepala perlahan turun, menemukan pipi tirus cenderung kurus milik sang istri.

Perasaan apa ini? Sesak di dada semakin menjadi. Apa rindu? Namun Kama yakin sekali, bukan itu.

🌹🌹🌹

Komennya dong untuk part ini. Bagian mana yang kalian sukai?

Untuk yang masih kurang, seperti biasa Karyakarsa sudah menyiapkan dua part ke depan. Atau yang mau menunggu, mari kita penasaran di sini sama-sama. Semoga part ini mampu menghibur kalian.

Berikan juga banyak cinta untuk Briona❤

Vidia,
06 September 2021.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang