🌹🌹🌹
Sebenarnya tidak ada alasan spesifik kenapa Kama bisa membenci Briona. Dulu tidak seperti itu, tentu saja. Dia menyayangi Briona layaknya seorang kakak yang baru saja mendapatkan adik baru. Melakukan kegiatan menyenangkan apapun bersama-sama.
Briona kecil adalah gadis yang dapat diandalkan. Tidak mudah merengek dan tidak manja sama sekali. Briona juga tidak mudah tertawa, namun dulu, Kama merasa senang sekali setiap mendapatkan senyum kecilnya.
Sampai akhirnya dia lulus dari sekolah dasar dan harus pindah ke Surabaya untuk sekolah di sana, hubungannya dengan Briona sudah tidak lagi sama.
Kama jarang sekali ke Jakarta karena kedua orang tuanya juga ikut tinggal di Surabaya. Meninggalkan Briona bersama salah satu pengasuh kepercayaan mereka. Namun tak jarang juga, Mama dan Papanya akan datang menjenguk. Dan itu sering sekali.
Sampai saat dia masuk kuliah dan memilih universitas di Jakarta, keluarganya kembali. Ke rumah di mana masih ada Briona tinggal di dalamnya.
Yang Kama lihat pada hari pertama pertemuan mereka adalah seorang gadis tinggi dengan rambut sepundak yang ikal di bagian bawahnya. Memakai pakaian sekolah negeri (putih dan abu-abu), namun alas kakinya sudah bukan sepatu lagi, sudah berganti dengan sendal bulu berwarna pink pucat. Menatap Kama dengan sama bingungnya.
Pasti ada pertanyaan kenapa Briona tidak diajak ke Surabaya, kan? Itu karena Briona yang sudah duduk di bangku kelas empat sekolah dasar enggan untuk ikut. Dan meskipun Mama keberatan, namun akhirnya mereka tetap pindah ke Surabaya dan datang ke Jakarta setiap minggunya.
Dan Briona kecil yang dulu Kama kenal dengan wajah datarnya, kini masih sama. Malah lebih dingin dan acuh. Sudah tidak ada lagi keakraban yang tersisa di meja makan ini layaknya dulu. Hanya ada kecanggungan yang sedang berusaha dipecahkan oleh kedua orang tuanya.
Namun percuma saja. Kama maupun Briona sudah dewasa. Bukan lagi anak kecil lugu yang senang bermain seperti dulu. Perpisahan selama hampir lima tahun telah mengikis semuanya.
Apalagi setelah beberapa bulan masuk ke kampus, sudah banyak sekali gadis yang diincar Kama. Mulai dari si cantik yang sering sekali menjadi wajah untuk kampusnya, sampai anak sosialita kaya. Dan tentu, itu membuat Kama melupakan Briona dengan mudahnya.
Di dalam rumah pun, keduanya lebih sering menjadi orang asing. Bertemu tapi tidak saling menyapa. Berpas-pasan seolah hanya tahu nama. Renggang sekali pokoknya.
Sampai ... Pada malam gadis berpiyama hitam itu turun dari kamarnya malam-malam akibat mencium bau sedap dari dalam dapur. Bau mie instan yang sedang diseduh oleh Kama.
“Mas Kama buat apa?”
Akhirnya, setelah sekian purnama Briona tidak pernah menyebut namanya, kini Kama bisa mendegar. Dia menoleh, dengan tangan yang masih sibuk mengaduk mie instan yang sudah dia tiriskan ke dalam mangkuk.
“Mie,” jawabnya. “Kamu mau?” Kama hanya ingin hubungan mereka tidak sedingin biasa, setidaknya untuk malam ini saja.
“Boleh?” Dan Briona sepertinya juga melunturkan sifat es nya dan memilih langsung duduk di stool. Mengamati punggung pemuda dua puluh tahun itu yang bergerak di depan kompor.
Mata bulat Briona sedikit berbinar saat mie dengan kuah hangat yang mengepul di dalam mangkuk itu terhidang di hadapannya. Mama Melody selalu melarangnya mie instan. Dan Briona bahagia sekali bisa merasakannya tengah malam begini.
Mereka makan berhadapan dalam diam. Di suasana remang dapur dan berbisik karena takut ketahuan sang Mama. Meski keduanya sudah sama-sama dewasa, tetap saja, sifat posesif Melody terhadap kedua anaknya tidak akan hilang.
“Kapan terakhir kali kamu makan mie instan?” Kama bertanya ketika melihat gadis di depannya yang menyeruput kuah mie dengan lahap.
Sedangkan Briona menggeleng. “Aku nggak ingat. Mama selalu mantau isi dapur setiap pulang dan menginterogasi Nenek.” Nenek yang dia sebutkan adalah pengasuh paruh baya yang mengurusi setiap kebutuhan Briona kala Melody tidak ada.
“Kamu punya mag. Makanya Mama nggak izinin kamu makan mie instan sesuka hati.” Kama menyahut.
Briona tidak menjawab lagi. Keduanya makan dalam diam sampai isi di mangkuk masing-masing tandas. Briona berinisiatif mengambil mangkuk milik Kama dan mencucinya di wastafel. Dia tidak suka merepotkan. Untuk itu, karena Kama sudah berbaik hati membuatkannya mie instan, biarkan dia yang mengerjakan sisanya.
“Kamu ... Sudah masuk ke kelas sebelas, ya?” Kembali, Kama berusaha memecah keheningan. Dia berdiri, menyandar pada meja yang ada di sana demi bisa mengamati punggung Briona yang sedang mencuci piring.
Briona mengangguk tanpa menoleh. “Aku udah tujuh belas, Mas.”
Kama menggaruk tengkuknya sambil meringis. “Kalau umur kamu, aku ingat. Cuma mau mastiin aja.”
Selesai meletakkan mangkuk itu ke rak, Briona berbalik. Balas menatap Kama dalam keremangan dapur yang samar-samar. “Mas Kama udah banyak berubah, ya?”
Mengangkat alis, Kama berdiri tegak. “Berubah gimana?”
Pertanyaan itu tidak sempat dijawab oleh Briona karena Kama segera menariknya begitu terdengar suara langkah kaki. Bersembunyi di ujung ruangan dapur yang tertutup oleh lemari besar, menciptakan celah sempit antara lemari itu dan juga tembok.
Kama menyuruh Briona memasuki celah sempit itu lebih dulu sebelum ikut masuk dan dempet-dempetan di sana.
“K—kenapa?” Briona bertanya bingung, dan langsung dibekapnya bibirnya oleh Kama.
Kama meletakkan jari telunjuk di depan bibir seraya berbisik, “Ada Mama.”
Bisa diomeli lagi kalau Mama tahu dia mengajak Briona makan mie instan malam-malam begini.
Briona diam saja. Merasa berdebar juga takut ketahuan. Apa lagi Kama langsung memupus jarak di antara mereka saat lampu di dapur berubah terang benderang. Membuat Briona bisa dengan jelas menangkap raut wajah cemas dari pria itu.
Pintu kulkas terbuka. Membuat kedua manusia yang saling berhimpitan di sana menahan napas.
Dari sini juga, Kama bisa menemukan wajah layaknya boneka dengan mata bulat itu mengerjap gelisah. Bibirnya digigit kecil, dan Kama sebagai pria dewasa dengan tidak tahu dirinya malah tergoda.
Dan saat mata mereka bertemu, sumpah mati Kama bisa menemukan semburat merah itu. Briona menatapnya dengan malu-malu.
Layaknya kucing disodorkan ikan asin, bukannya langsung keluar dan saling melepas ketika langkah sang Mama sudah menjauh dan terang dari lampu sudah kembali ke remang-remang, Kama justru melakukan hal yang sebaliknya.
Semakin merapatkan tubuhnya pada Briona tanpa melepaskan tatapan tajamnya sama sekali. Dan yang membuat semuanya makin runyam adalah, Briona yang sama sekali tidak menghindar.
Atau justru menamparnya saat Kama mulai mendekatkan wajah, dan mencuri ciuman pertamanya dengan kurang ajar.
Namun kedua manusia itu justru menikmatinya. Sama sekali tidak memikirkan apapun konsekuensi yang akan keduanya tanggung setelah semua ini.
Sibuk mengeksplorasi bibir masing-masing demi menuntaskan rasa penasaran dan nikmat yang baru pertama kali mereka rasakan.
Demi apapun ... Jika ada waktu yang ingin sekali Kama hapus, adalah waktu ini. Di mana dia berhasrat pada Briona untuk kali pertama.
🌹🌹🌹
Ini flashback yaaaaa. Yuuuk siapa yang kangen sama Bri mohon vote dan komennya yuuuk.
Vidia,
14 Juli 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] 🌹🌹🌹 *** Briona Anindyaswari sangat menyukai bunga. Mawar dan sejenisnya, dan yang berwarna putih yang lebih spesifiknya. Dalam nuraninya yang paling naif, dia kira pernikahannya bersama Kama Nareswara akan seperti mawar, ber...