Side Story 2 - Rencana

2.4K 105 0
                                    

***

Wajah dingin dari Faye adalah hal pertama yang Elang temukan. Rambut gadis itu basah, pun dengan pakaian formal yang tadi dikenakannya di dalam ruang rapat sudah berganti dengan piyama hitam.

Kening Elang mengernyit. Untuk apa gadis itu ke sini malam-malam sedangkan kamarnya sendiri berada di lantai dua?

"Maaf karena mengganggu waktu istirahat kamu." Namun nadanya sama sekali tidak terdengar seperti orang yang sedang meminta maaf. "Tapi saya nggak bisa membuang-buang waktu untuk menyusun rencana. Berhubung kita berdua ditempatkan di dalam tim yang sama, kita harus menyusun plan dengan matang."

Elang menggaruk tengkuknya dan meringis. "Saya sebenarnya suka dengan gagasan itu, seandainya nggak diucapkan di tengah malam dalam kondisi tubuh saya yang kelelahan dan butuh istirahat seperti ini."

Itu adalah penolakan secara halus. Namun Faye sepertinya tidak mengerti, gadis itu masih berdiri keras kepala di hadapannya.

Yang membuat Elang kemudian mendesah. "Yang bener aja! Saya bener-bener butuh tidur." Meskipun pekerjaannya membutuhkan tenaga serta otak yang ekstra, namun seorang badan intelejen juga membutuhkan tidur!

Faye mengangkat bahu, sebelum kemudian berbalik. "Seharusnya saya memang nggak memilih kamu sebagai partner kerja."

Melihat punggung gadis itu yang tertelan pintu ruang rapat, Elang tidak bisa untuk tidak membuang napas lelah. Dengan enggan, dia melangkahkan kaki mengikuti Faye. Membuka pintu dan menemukan gadis itu yang sudah menggelar banyak sekali kertas di atas meja ruang kerja yang sedikit redup.

Tahu kalau Elang akan mengikutinya, dengan sangat bossy Faye menyuruh pemuda yang terlihat paling kompeten di antara anggota kelompoknya yang lain itu untuk duduk berhadapan dengannya.

Dia memberikan selembar kertas. "Ini adalah peta manual yang saya buat. Setelah beberapa hari mengintai, sedikit banyak saya menggambarkan bagaimana isi di dalam kebun ganja itu seperti ini."

Elang menerima kertas dari tangan Faye dan mengamatinya. Isinya merupakan guratan pensil abstrak namun dapat Elang mengerti dengan jelas.

"Di hutan sebelah sini biasanya para pemburu mencari hewan-hewan liar," telunjuk Faye yang ramping menunjuk pada sisi utara peta dari kebun tertutup yang di kelilingi tembok lebar. "Waktu itu saya sempat bertanya kepada salah satu di antara mereka, biasanya mereka berburu pada malam selasa dan malam sabtu."

Elang berdehem, matanya masih belum lepas dari kertas di tangannya. "Karena saya belum melihat lokasinya secara langsung, saya sedikit sulit membayangkan strategi apa yang akan kita pakai," katanya. "Bagaimana kalau besok kita pantau lokasi terlebih dahulu sebelum mencari informasi?"

Kali ini Faye mengangguk setuju. "Lagi lupa besok hari minggu, para pemburu nggak akan datang."

"Jadi, kamu memutuskan untuk bergabung bersama mereka?"

"Itu adalah langkah yang menurut saya paling aman. Nggak ada yang tau siapa saja yang ada di dalam tembok itu. Sekelilingnya pun dipasang CCTV yang nggak kalah ketatnya."

Elang tidak bisa menahan senyum. "Saya beruntung dipasangkan dengan partner sekompeten dan secekatan kamu, berarti."

Faye membalas dengan senyum miring. Dia menyambar kertas pada tangan Elang dan kembali membereskan kertas-kertas lain untuk dia masukkan ke dalam ranselnya sendiri. "Jadi, besok kita akan memantau dalam jarak yang tidak terlalu dekat dulu, baru malam berikutnya kita akan bergabung dengan para pemburu."

"Deal."

"Kalau gitu kita sepakati. Rapat kali ini selesai dan kamu boleh melanjutkan istirahat dan terimakasih atas waktunya." Faye mengatakan kalimat itu dengan datar, sedangkan matanya sama sekali tidak menatap Elang. Wajahnya menunduk membaca kertas lain yang mungkin lebih penting dari apapun.

"Ngomong-ngomong Ibu Jaksa," Elang membukukkan tubuhnya untuk mengamati Faye lebih dekat. "Karena kita nggak dalam misi resmi yang melibatkan pangkat dan seragam, apa nggak sebaiknya bahasa formal di antara kita dihilangkan aja?"

Elang bisa melihat bagaimana dahi yang diselimuti poni tipis semi basah itu sedikit berkerut. Sebelum kemudian wajah itu terangkat dan mata tajamnya menghujam Elang sedemikian rupa.

Tatapan tajam itu Elang paham sekali apa artinya. Dia menegakkan tubuh segera, melipat tangannya masih dengan mata yang tidak lepas dari wajah Faye. "Saya bukan sedang cari kesempatan PDKT atau apa, ini demi misi kita. Nggak mungkin kita akan bersaya-anda di hadapan para pemburu itu, kan?"

Dan tanpa diduga, Faye justru mengangguk setuju. Namun tatapannya yang tajam di wajahnya yang dingin belum hilang sama sekali. "Tapi ... Sejak tadi sepertinya tidak ada kata anda di antara kita. Kamu memulainya dengan kamu."

Dan Elang tertawa. Faye semakin mengernyit tidak suka. Kalimatnya barusan adalah sindiran, jadi seharusnya Elang tidak tertawa sama sekali.

"Kamu juga," jawab Elang dengan tiba-tiba. "Yang mulai panggil saya dengan kamu, kan kamu sendiri, Fay."

Agak tidak nyaman pria itu menyebut namanya dengan nada akrab seperti itu. Namun Faye hanya mengibaskan tangan. "Udahlah." Dia malas memperdebatkan masalah tidak penting seperti ini. "Silakan tidur dan beristirahat."

Elang berdiri dengan senang hati. Mengangguk memberi salam dan keluar menuju pintu.

Faye yang masih duduk di tempatnya dengan kertas di tangan mulai menggigit bibir, keinginan untuk menyelesaikan kasus ini dengan sempurna menyeruak. Karena dengan menyelesaikan kasus ini dan menunjukkan kinerjanya yang luar biasa, harapan untuk dirinya diangkat menjadi kepala jaksa wilayah secara tetap akan ada di depan mata.

Untuk itu, Faye tidak boleh gagal. Apa lagi mati di sini.

"Kak,"

Panggilan itu sontak membuat Faye menoleh, menemukan adik kembarnya, Freya, yang mengintip dari arah pintu.

Mengerti bahwa dirinya diizinkan masuk, Freya melangkah mendekat. "Kakak terlalu memaksakan diri," celetuknya setelah mengintip kertas yang kakaknya baca.

"Aku cuma lagi berusaha." Faye kembali fokus.

Freya menghela napas berat. "Kakak seharusnya bisa menerima kalau ini adalah jabatan tertinggi yang bisa kita capai."

"Di zaman ini, aku nggak pernah dengar lagi ada emansipasi wanita."

"Memang nggak pernah dengar, tapi sering sekali terjadi. Mau sekuat apapun kita berusaha, jika jaksa wilayah di Kalimantan masih si brengsek Wilayudha, kita nggak pernah akan naik pangkat." Sekali lagi, Freya mengingatkan. Dia mendelik ketika kertas di tangang kakak remuk tak terbentuk dalam sekali genggam.

"Jangan sebut nama bajingan nggak punya otak itu. Gimanapun, aku pasti bisa merebut jabatanku kembali." Faye berdecak geram. Dia membuang napas berusaha menahan emosi. Hal ini selalu terjadi jika telinganya tidak sengaja menangkap nama belakang dari sosok yang paling Faye benci di dunia itu.

Freya kemudian mengangkat bahu. Kakaknya memang luar biasa keras kepala. Akan sangat sia-sia jika kita ngotot menasihatinya. Karena tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Freya berdiri, menepuk pundak Faye sekilas. "Lebih baik Kakak istirahat, besok kita membutuhkan energi yang lebih banyak dari pada hari ini."

***

Vidia,
18 Agustus 2022.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang