🌹18; Gelora

4.7K 611 20
                                    

🌹🌹🌹

Kama tidak tidur sampai menjelang pagi. Duduk di tepi ranjang sembari memperhatikan wajah sang istri yang terlelap di bawah sinar lampu temaram.

Sudah lama sekali dia tidak memperhatikan wajah lelap itu, sejak tujuh tahun lalu, sejak dia kalah dari gelora mengerikan, sejak dia terbuai dengan neraka nikmat dan berakhir menyesal. Tidak ada yang tahu bagaimana cara Kama melanjutkan hidup setelah itu. Tidak ada yang tahu bagaimana ketakutan yang dirasakannya ketika hendak menjejakkan kaki ke rumah.

Dia takut. Takut perasaan meluap dan gairah yang seolah tumpah itu kembali tidak dapat dikendalikan saat melihat Briona. Seseorang yang selama ini selalu dia anggap sebagai adiknya. Kama juga tidak berani membayangkan bagaimana jadinya jika sang mama tahu perlakuan bejatnya terhadap Briona. Bukan cuma hukuman, kedua orangtuanya pasti akan sangat murka. Dan tidak mustahil pula Kama akan dicoret dari daftar warisan serta kartu keluarga.

Dan dia kira, setelah tujuh tahun, setelah dirinya sibuk menghindar dan yakin bahwa kedekatannya dengan Briona sudah tidak lagi ada, juga dengan keberadaan Aleta yang menjadi penawarnya, gelora itu akan lenyap dengan sendirinya. Namun sepertinya itu tidak terjadi. Saat Kama dengan sekuat tenaga menahan gejolaknya sendiri ketika matanya menemukan wajah itu. Wajah lelap yang tampak damai, kontras sekali dengan gelisah dan ketakutan yang menyambangi Briona beberapa saat lalu. Juga kedamaian yang berbanding terbalik dengan kondisi tubuh Kama saat ini, yang porak poranda, seolah tubuh itu sedang sekuat tenaga menahan badai yang mengamuk di dalam sana.

Namun meskipun sadar bahwa perasaannya mulai mengerikan, Kama enggan beranjak. Memberikan waktu ada dirinya sendiri untuk kembali merekam wajah yang sudah lama sekali tidak dia perhatikan sedetail ini.

Pipi Briona tirus, dan terlihat kurus sekali. Kama mencoba menggali ingatannya tentang bagaimana penampilan perempuan itu beberapa tahun yang lalu. Saat mereka mulai sedikit demi sedikit merakit hubungan yang kaku, dan berakhir dengan terjadinya hal-hal yang akhirnya Kama sesali.

Penyatuan satu malam itu adalah yang pertama bagi Kama, bagi mereka. Hasrat yang sama-sama menggelora itu masih terekam jelas di benaknya. Kepuasan tanpa ujung masih menggelayuti, seolah akan memberontak jika Kama tidak dipuaskan lagi, dan lagi. Mengerikan sekali, bukan?

Namun jika bertanya kenapa Kama tidak memeriksakan kondisinya dengan orang ahli, kalian salah menduga itu. Kama sudah mengunjungi banyak sekali psikiater dan hasilnya tetap sama, sebagai ketertarikan antar lawan jenis saja. Karena benar, Kama memang tidak pernah merasakan hasrat seliar ini selain kepada Briona.

Katanya, hal itu bukan penyakit. Merupakan ketertarikan seksual yang wajar selama Kama masih bisa mengontrol kondisinya. Selama Kama tidak berpikiran untuk berbuat nekat dengan memaksa agar Briona mau berhubungan badan dengannya, itu tidak apa-apa.

Dan syukurnya, selama ini Kama pandai mengendalikan diri. Menjaga jarak dan tidak lagi peduli pada perempuan ini adalah sikap yang menurutnya tepat sekali. Selama tujuh tahun dia berhasil mengungkung hasrat buas itu demi tidak melakukan kesalahan lain yang akan membuatnya kian menyesal.

Dan kini, di sinilah dia duduk sekarang. Memperhatikan wajah pulas dengan mata penuh rasa bersalah yang sebelumnya tidak pernah dia tunjukkan kepada Briona. Sudah sering sekali dia dengan sengaja menyakiti wanita ini, mau itu dengan perkataan, atau perbuatan.

Matanya melirik ke arah kaki perempuan itu yang tertutup selimut, teringat kembali mengenai kedua tumit Briona yang terluka akibat perlakuan Kama yang menurunkannya di pinggir jalan.

Jika kalian bertanya apa Kama menyesal? Jelas jawabannya adalah iya. Namun Kama tidak akan menunjukkan itu. Karena membuat Briona membencinya adalah misi utama. Dia takut kalau-kalau suatu hari nanti hasratnya sudah tidak dapat lagi dikendalikan, Briona tidak menurut saja.

Second Chance [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang