Arjioon Putra Parswera

10.8K 831 105
                                    

"Kalo aku terima tawaran Papah, berarti aku nggak perlu pegang perusahaan cabang?"

"Kalo kamu mau nikah dalam waktu dekat, kamu nggak akan Papah angkat langsung jadi CEO--"

"Oke setuju!" Tanpa pikir panjang lelaki bermata sipit itu menyetujui perkataan Sang Papa. "Mau kapan akadnya? Besok? Atau sekarang?"

"Ini nikah Arjioon!" tegur Papa. Maksud hati ingin memberi penawaran yang sulit kepada Jioon, tetapi putra bungsunya itu tidak terpengaruh. Ia masih belum mau memimpin perusahaan, walaupun hanya anak cabang yang tidak terlalu besar.

"Pah, nikah tanggung jawabnya satu orang. Jadi CEO ratusan kepala keluarga yang harus aku pimpin," bela Jioon yang masih tetap teguh akan pendiriannya.

"Oke. Papah atur jadwal lamarannya--"

"Sama siapa?" Jioon tentu saja langsung memotong perkataan Sang Papa. Gila! Siapa yang akan Jioon lamar?

"Kamu punya pasangan?" tanya Papa yang masih tenang duduk di kursi kebesarannya, sedangkan Jioon dengan lesu menggelengkan kepala. "Nah, kan. Sok-sokan kapan akad, tapi gak punya calonnya!"

Jioon merutuki pikiran pendeknya. Sedari tadi ia percaya diri mengambil tawaran Sang Papa untuk menikah karena ia yakin tak ada perempuan yang bisa dinikahi dalam waktu dekat. Jioon melupakan fakta bahwa papanya memiliki banyak kolega, dan tentu saja salah satu atau bahkan lebih diantara koleganya itu ada yang memiliki anak perempuan.

"Aku punya catatan kriteria buat calon aku--"

"Nggak usah banyak mau!" Kali ini Papa yang memotong perkataan Jioon. "Kamu udah syukur Papah kasih pilihan."

Jioon menghela nafasnya, "Pah, Jioon kuliah aja belum beres. Jioon bukannya nggak mau pegang perusahaan Papah. Jioon mau, tapi bukan sekarang. Kalo sekarang, Jioon mending jadi OB dulu daripada jadi CEO." Ini adalah jurus terakhir yang Jioon miliki. "Lagain, emang Papah mau perusahaan yang Papah rintis dari muda tiba-tiba ambruk dalam sekejap gara-gara aku?"

Pria paruh baya itu menghela nafas, putra bungsunya ini memang memiliki banyak drama. "Papah suruh kamu pimpin salah satu anak cabang perusahaan, bukan kantor pusat."

"Tapi, Pah. Anak cabang perusahaan Papah juga karyawannya banyak. Lebih banyak dari lapisan biskuit Tango."

Bisa-bisanya Arjion Putra Parswera ini nyebut biskut berlapis dalam suasana menegangkan. Papa bahkan sudah menatap tajam putranya yang mengeluarkan lelucon tak lucu.

"Pilihannya dua. Jadi CEO, atau nikah muda?"

Jioon menghela nafasnya, bernegosiasi dengan Sang Papa tentu saja akan menghasilkan kekalahan untuknya.

"Papah tunggu jawabannya besok," tegas Papa dan setelah itu beranjak dari kursinya. "Kamu pikirin malam ini, dan Papah tunggu jawabannya setelah sarapan."

Arjuna Parswera bukanlah lawan yang sebanding untuk Jioon kalahkan. Bakat berdebatnya saja ia dapatkan dari Sang Papa, tentu saja ia tak akan menang.

***

Malam ini Jioon benar-benar tidak bisa memejamkan matanya. Pulpen masih bertengger di antara telunjuk dan jari tengah, walau sesekali ia pindahkan ke atas bibir yang dimanyunkan.

"Kalo gue jadi CEO, tanggung jawab gue gede banget," gumam Jioon sembari memutar-mutar pulpennya. "Tapi kalo gue nikah muda, tetap aja tanggung jawabnya gede juga!"

Tengah malam menjelang dini hari, seorang mahasiswa semester akhir sedang pusing memikirkan masa depannya. Bukan, bukan tentang kuliah. Ini justru lebih rumit daripada kumpulan tugas akhir yang semakin menumpuk.

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang