Malam ini Jioon siaran dipantau oleh Tara. Perempuan itu menonton dibalik kaca besar bersama seorang produser radio. Suara Jioon juga terdengar olehnya, serak dan sepertinya hampir habis. Tetapi walau seperti itu, Jioon tetap semangat, sesekali bahkan teriak.
"Jioon tuh emang kalo urusan siaran, tipes pake infusan juga tetep dateng," komentar produser radio yang ikut memantau jalannya siaran. "Dulu pernah tuh pas awal-awal kerja. Mamanya sampe bilang ke saya, tapi Jioon tetep maksa siaran. Saya suudzon dia mau cari muka, ternyata bukan."
Tara menoleh pada pria dengan kaus hitam berlogo Marvel di tengah, ia kira perkataan produser radio itu hanya sebuah pengobatan. "Kak Jioon siaran sambil diinfus, Pak?"
Pria tersebut mengangguk. "Dianterin sama dua temennya. Saya lupa siapa, yang pasti salah satunya itu berisik banget sampe saya usir."
Tak perlu diberitahu, Tara sudah yakin kalau laki-laki yang diusir itu Alvin. Tidak mungkin Yoseph yang pendiam dinilai berisik. Pasti Alvin Juniar.
"Jioon itu salah satu inceran saya buat jadi penyiar tetep. Tahun lalu ditawarin, tapi dia lagi fokus sama skripsi, mungkin nanti beres wisuda dia mau."
Arjioon dan siaran memang tak terpisahkan. Saat SMA ia bergabung di ekskul broadcasting dan semakin jatuh hati dengan dunia penyiaran. Lelaki itu bahkan sampai menjadi ketua ekskul di angkatannya, menyabet juara satu remaja penyiar tingkat nasional. Public speaking Jioon juga tak perlu diragukan, namanya selalu ada sebagai pembawa acara di setiap kegiatan sekolah dan kampus bahkan acara radio.
"Saya aja agak heran, kenapa dia nggak ambil komunikasi ya? Malah kuliah bisnis."
Tara hanya tersenyum. Ia sudah mengetahui jawaban mengapa Jioon tidak memilih jurusan yang sesuai dengan passion-nya. Padahal, kalau Jioon masuk komunikasi, kemampuannya bisa semakin tajam karena diasah. Sayang Papa tidak setuju dengan jalur yang Jioon pilih.
"Okaaay, intinya saat dua orang sudah tidak lagi bisa bersama, rasa di hati sudah berbeda, dan tak bisa memaksa kehendak semesta, itu berarti sudah waktunya berpisah. Lagu penutup sebelum akhir pekan, ikhlaskan dia yang tak lagi sejalan, dan ucapkan Hati-hati Di Jalan ..., Tulus."
Lagu dari Tulus Hati-hati Di Jalan mengakhiri siaran malam Jioon. Lelaki itu mematikan mikrofon, lalu menajamkan mata dengan tubuh bersandar pada kursi. Di keningnya tertempel plester penurun demam yang Tara pasang sebelum mereka berangkat siaran.
Jari telunjuk yang menempel di ibu jari sebagai isyarat tanda OK dari Produser Radio yang artinya siaran Jioon sudah selesai. Terdapat jeda lima menit sebelum siaran malam menuju tengah malam di mulai oleh penyiar lain, Arjioon akhirnya keluar dari studio, begitupun dengan Tara yang beranjak dari posisi duduknya.
Hal pertama yang Tara lakukan adalah memeriksa suhu tubuh suaminya. "Kak berobat ya?" Untuk kesekian kalinya Tara membujuk saat merasakan leher Jioon semakin panas. Sirat khawatir sangat terlihat jelas di wajahnya.
Jioon sendiri hanya tersenyum, mengusap wajah istrinya dengan lembut. Lelaki itu menghampiri sang produser. "Hari ini ada brief ikan buat awal bulan nggak, Bang?" tanyanya yang masih tetap memikirkan tugas yang lain. "Mau rekaman sekarang?"
Syukurnya Produser Radio itu paham akan kondisi Jioon. Pria dengan rambut pirang layaknya anak muda masa kini itu menggeleng. "Lo balik deh, Ji. Agak ngeri pingsan di sini, udah kayak mayat idup tau!"
Senyum lebar seperti iklan pasta gigi Jioon berikan pada pria tersebut. "Jangan dulu, lah! Nanti istri gue jadi janda, mau lo incer ye?" candanya yang tentu saja mendapatkan tinjuan dari sang atasan. "Canda, Bang. Gue balik duluan, deh. Kasian istri gue--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Julid ARJIOON✓
General FictionDi balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar radio yang selalu membuat tawa orang sekitar itu rupanya tak cukup untuk memberi warna pada hidupnya. Semua rahasia Jioon mulai terungkap ketik...