43. Tahan Sendiri

3.2K 437 74
                                    

Sandwich Tuna yang selalu jadi sarapan kesukaannya sebelum ke sekolah itu masih berada di tangan Tara. Sedangkan Mahesa sudah pergi beberapa menit lalu setelah memaksa Tara untuk menerima makanan yang ia bawa. Roti gandum berpadu dengan tuna, keju cheddar, selada dan bumbu khas dari restoran asal Amerika sebelum pesaing bermerek S datang itu memang menjadi kesukaan Ghistara.

"Kalo dibuang sayang," gumam Tara masih bimbang dengan roti lapis itu, "tapi kalo gue makan ..., nggak!" Dengan cepat kepalanya menggeleng. Walaupun air liur sudah hampir menetes, perempuan itu tak mau memakannya. Sebagai jenis makhluk hidup pemilik harga diri tinggi dan menjunjung harga diri suaminya juga tetep tinggi, jelas Tara lebih memilih menelan kembali air liurnya daripada harus menikmati sandwich dari Mahesa. "Kasih ke security bawah aja, deh."

Tara sudah siap dengan perlengkapannya untuk berangkat ke kantor. Tas selempangnya tergantung di pundak kanan, sedangkan tangannya membawa tas makan siang Jioon serta tote bag berisi kaus suaminya untuk siaran. Lalu di tangan kirinya ada paper bag berisi sandwich dari Mahesa.

Flatshoes navy itu siap membawa langkah Tara keluar apartemen. Berjalan menuju lift yang membawanya ke basement dan sesuai dengan niatnya di awal, Tara meletakkan paper bag berisi sandwich di meja security yang kebetulan kosong. Ia juga memotret benda itu, lalu mengirimnya pada nomor Mahesa yang tidak disimpan.

To: 08xx-xxxx-xxxx
Gue kasih sandwich dari lo ke security apartment. Tolong jangan kasih apapun ke gue lagi, sekalipun gue mau, gue bisa minta ke Kak Jioon.

Ya, alasan Tara mengirim pesan seperti itu untuk menegaskan kalau Arjioon juga mampu membelikannya sandwich seharga sembilan puluh ribu itu. Walaupun kenyataannya, dibandingkan untuk menbeli sandwich yang sekali makan, Tara jelas lebih memilih untuk belanja berbagai jenis sayur dan lauk untuk ia masak selama tiga hari. Pokoknya prinsip Tara, harga diri sang suami tak boleh terlihat buruk di mata siapapun. Jangankan Mahesa, Tara saja tak mau Jioon dinilai tak bisa menghidupinya oleh Ayah dan Bunda.

"Gue bilang Kak Jioon jangan, ya?" gumam Tara yang bersiap mengemudikan HR-V suaminya. Ia ragu untuk bercerita pada Jioon tentang kedatangan Mahesa. "Tapi, hubungan mereka udah mulai renggang, kalo gue cerita masalah ini bisa makin panas."

Sebenarnya Tara tak mau Jioon dan Mahes perang dingin, apalagi hanya karenanya. Mama pernah cerita kalau Jioon dan Mahesa itu sudah seperti saudara kandung, sangat akrab, Arjioon anak bungsu yang ingin memiliki adik dan Mahesa anak satu-satunya yang kesepian. Memori Tara juga tiba-tiba saja membawanya ke masa abu-abu saat cukup dekat dengan Mahesa, lelaki itu sering bercerita tentang saudara sepupu yang menyenangkan, asik, dan selalu menjadi panutannya, ia yakin itu pasti Jioon.

"Nggak usah, deh," ucap Tara menjawab pertanyaan sendiri. Tak lagi memikirkan masalah Mahesa, ia mulai memasuki basement AR Tower lalu berbelok menuju parkiran khusus para petinggi yang masih sepi. "Gila, ngeri banget gue keluarnya."

Lantai dasar pada pukul tujuh memang masih sepi. Basement itu seperti tempat sisa. Jadi, kalau parkiran luar masih kosong, tentu area dalam ini tak ada ada yang pakai. Untung saja parkir khusus petinggi letaknya di ujung dekat lift, setidaknya tak ada drama lari di lorong sepi karena merasa ada yang mengikuti. Yaaa, Ghistara dan skenario otaknya yang terkontaminasi drama berbagai negara.

"Ngomong aja, deh," gumam Tara tiba-tiba. Hati dan pikirannya kembali berdebat. Jika diawal hatinya menang karena lebih baik Jioon tak tahu tentang kedatangan Mahesa, tetapi tiba-tiba logika mengeluarkan banyak argumen. Lo paling kesel kalo baca novel terus si pemeran utama sok-sokan nyimpen rahasia padahal kalau bilang masalah bisa lebih dulu selesai, kan? Seperti itu salah satu argumen logika Tara yang berhasil membuat hatinya kalah. "Iya, Kak Ji harus tau."

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang