Gilaaa ini panjang banget. 3k lebiiih🙂. Semoga kalian nggak bosen pas bacanya ya🥲
---
Seperti biasa, Jioon menjadi manusia pertama yang bangun di apartemen ini. Dan, rutinitas pertama yang dilakukanya saat keluar kamar adalah membuka pintu kamar Tara, memastikan bahwa istrinya itu baik-baik saja di kamar sebelah.
"Anjaaay." Senyuman di bibirnya langsung terlihat jelas ketika Jioon melihat tumpukan buket makanan ringan di meja belajar milik Tara. "Dia bikin sendiri, ya?" duganya karena melihat sia-sia kertas yang berserakan di atas lantai.
Dengan pelan Jioon kembali menutup kamar Tara, lelaki itu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Membuat teh hangat sembari memahami beberapa materi yang akan ia presentasikan hari ini.
"Bisa, Ji! Bisaaa!" ucap Jioon merapalkan mantra andalannya. Ia sudah duduk dengan kaki bersila di sofa ruang keluarga. Membuka laptop, memahami beberapa hal yang belum bisa otaknya terima.
Suasana apartemen benar-benar hening. Hanya ada Jioon yang sedang fokus menatap layar empat belas inci di depannya. Teh hangat yang laki-laki itu buat bahkan tidak dihiraukan dan menjadi pajangan di meja. Kacamata yang jarang dipakai bahkan berubah menjadi penyelamat untuk retina Jioon yang akhir-akhir ini selalu menatap layar laptop.
"Udah, lah. Pasrah aja," gumam Jioon menyerah. Ia melepaskan kacamatanya, menyesap teh hangat yang sudah mulai mendingin. "Gue sogok aja kali itu Pak Haris, ya? Sama bambu runcing."
Jioon mengacak-acak surainya dengan kesal. Lelaki itu beranjak dari ruang keluarga, berjalan mendekat pada pintu kaca yang menjadi sekat dengan balkon apartemen.
Udara sejuk langsung menyapa wajah Jioon. Ia menghirup dalam-dalam, memberikan banyak pasokan oksigen ke dalam rongga paru-paru, dan mengembuskan dengan tenang, seakan berharap semua beban dan pikiran yang menggangu ikut keluar juga.
"Kak--"
"ASTAGA! Gue kira setan, anjir!" ucap Jioon dengan tangan mengelus dada kirinya yang terkejut. Bahkan, karena terlalu drama, Jioon sampai menyandarkan tubuh pada pagar balkon. "Kenapa?"
Tara tahu suaminya itu terlalu berlebihan. Hampir dua bulan ia hidup dengan Jioon, membuatnya sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi. Ya, walaupun masih sedikit.
"Lo pake baju buat sempro yang mana? Celaannya juga," tanya Tara yang kini berdiri di dengan pintu kaca sebagai sandarannya di samping. "Mau gue setrika, terus lo pake almet atau pake jas?"
"Item putih aja," jawab Jioon yang sudah berhasil mengatur dagup jantungnya yang tadi terkena serangan mendadak.
"Nggak pake jas?"
"Nggak, Taraaa. Gue mau sempro, bukan nikah lagiii."
Tak ada ekspresi yang keluar dari wajah Tara. Muka bantalnya memang tidak lagi terlihat karena sebelumnya sudah terkena air wudhu. "Pake dasi nggak?" tanyanya lagi. Ia benar-benar mempersiapkan semua keperluan Jioon.
"Pake, Ra."
"Dasi kupu-kupu?"
Jioon berdecak kesal. "Sekalian sama jasnya, deh. Gue mending nikah lagi dari pada seminar proposal," omel lelaki itu dan dengan gemas meraup wajah Tara dengan telapak tangannya.
"Nikah lagi sono! Kayak ada yang mau aja," balas Tara tidak terlalu peduli dan memilih untuk masuk ke kamar Jioon, mencari baju putih dan celana bahan hitam untuk Jioon.
"Rapi, kan, kamar gue?" tanya Jioon dengan sombong. Lelaki itu berdiri di ambang pintu kamarnya. "Kapan lagi kamar gue rapi."
Tara tak mempedulikan kesombongan Jioon yang sangat tidak penting. Karena nyatanya kamar sang suami ini benar-benar berantakan. Kaus kotor berserakan, handuk menggantung di pintu lemari, sajadah bekas salat subuh juga belum dilipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Julid ARJIOON✓
General FictionDi balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar radio yang selalu membuat tawa orang sekitar itu rupanya tak cukup untuk memberi warna pada hidupnya. Semua rahasia Jioon mulai terungkap ketik...