18 Tahun Kemudian ....
"Pah, nggak ada niatan selingkuh dari Mamah?"
Mata Jioon jelas langsung melirik putra sulungnya dengan sinis, pulpen di tangan ia lempar pada Arsen yang duduk di sofa ruang kerjanya. "Mikir dulu baru ngomong!" sewotnya pada sang putra yang masih mengenakan seragam sekolah. "Anak jenis apa yang nawarin bapaknya selingkuh."
Arsen mengedik, tak peduli dengan nada suara papanya yang siap mengajak ia duel. "Aku cuma nanya, bukan nawarin," bela remaja kelas 12 SMA itu. "Papa, kan, banyak duitnya, jabatan udah oke, muka masih ganteng walaupun gantengan aku. Kayaknya perempuan-perempuan di luar sana masih pada mau kalo harus jadi simpenan Papa."
Berkas-berkas yang menumpuk tak lagi menjadi fokus utama Jioon. Ia duduk bersandar di kursi kerjanya. "Papa dapetin Mama aja susah-"
"Halah susah," sela Arsen meremehkan, "orang Papah sama Mamah dijodohin!"
Jioon berdecak sebal, wajah tengil putranya benar-benar membuat ia ingin memukul mulut Arsen. "Heh, kalau Papah nggak usaha, Mamah pasti nggak akan nerima perjodohan itu!" sewotnya tak terima dianggap remeh. "Lagian mana mungkin Papah nyakitin hati Mamah, cukup waktu awal nikah aja Mamah kamu harus hidup susah,"
Lagi dan lagi, Arsen tidak tersentuh dengan cerita papanya. "Hidup susah apaan," sindir Arsen yang sebelumnya memang sekilas pernah mendengar drama rumah tangga kedua orang tuanya di awal pernikahan melalui sang mama, "Papah sama Mamah abis nikah aja langsung tinggal di apartemen. Orang susah mana yang mampu beli apartemen-"
"Tapi, kamu tau sendiri segede apa rumah Nenek sama Kakek di Menteng!" sela Jioon tak mau kalah. "Belum lagi gaji Papah waktu jadi penyiar Cuma setara sama jatah jajan Mama seminggu."
Sudut bibir kiri atas Arsen sedikit tertarik ke atas, ia benar-benar tidak simpati dengan cerita menyedikan yang papanya sampaikan. "Bapak lo kaya, Arjioon-Aaa! Ampun, jangan lempar aku pake itu!" kedua telapak tangan Arsen langsung merentang, melindungi tubuhnya dari ancaman figura foto keluarga yang akan papanya lempar.
Jioon sedang menuai karmanya sendiri. Dulu ia juga sering memanggil papanya dengan nama saja. Jadi, sekarang kalau anaknya seperti itu, Jioon hanya bisa pasrah, kadang sedikit menegur, walaupun yakin anaknya ini tak akan peduli. Arsen itu copy paste-nya, jadi ia paham pola pikiran si sulung seperti apa. Jelas seperti dirinya saat remaja.
"Lagian aku cuma iseng nanya," ucap Asren bengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman setelah merasa aman, "kalo buar jawabannya, sih, aku juga tau. Arjioon Bucin Putra Parswera mana mungkin berani nyakitin Mama aku."
Putra sulung Jioon ini benar-benar perpaduan julid sang papa serta pikiran sinetron mamanya. Jahilnya juga hampir melamapaui batas, adik laki-lakinya bahkan sering menjadi korban, tetapi kalau ke adik bungsu Arsen tidak berani, ngeri dikeluarin dari kartu keluarga sama Papa. Maklum, si bungsu satu-satunya tuan putri diantara dua pangeran.
Ya, Arjioon dan Ghistara memiliki tiga orang anak. Sesuai rencana Jioon kala mereka jalan-jalan ke Taman Tabebuya berapa belas tahun lalu. Syukurnya hanya rencana tiga anak yang Tara wujudkan, sedangkan untuk nama, mereka tak jadi menggunakan nama klub sepak bola dan sebuah makanan sejenis bacang untuk anak-anaknya.
Pintu ruangan Jioon tiba-tiba saja tebuka, mata tajam Tara langsung tertuju pada putra sulungnya yang sedang duduk bersila di atas sofa. "Kakak! Kamu kenapa bolos les lagi?" sentak mama beranak tiga itu, langkah kakinya membawa ia mendekat pada Arsen. "Seminggu ini kamu cuma masuk les satu kali, loh!"
Arsen dengan capat melompat. "Aku udah paham sama materinya, Maaa," ucapnya membela diri walaupun kini sudah berlindung di balik kursi kerja yang papanya duduki. "Kakak belajar di sekolah aja otak udah ngebul, ini ditambah sama les di luar, bisa meledak otak Kakak."
"Tenang, Maaah, sabaaar ...," komentar seorang remaja dengan seragam SMP yang sedari tadi berada di belakang Tara dan satu anak perempuan berseragam SD. "Jangan marah-marah, langsung lempar aja Kak Arsen ke jendela."
"Kamu juga Arsean!"
"Apa? Aku nggak bolos les," siswa kelas 7 SMP itu langsung mengangkat kedua tangannya, seperti pencuri yang siap menerima tembakan dari polisi. "Tadi, kan, Mama jemput aku sama Sheryl."
Helaan napas Tara terdengar berat. Wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu melemparkan tubuhnya duduk di sofa yang tadi menjadi singgasana Arsen. "Kamu emang nggak bolos les, tapi kamu ngempesin ban mobil guru seni budaya, Bang!"
"Eh, Si Bule Botak, Yan?" Seakan omelan sang mama bukanlah hal penting, Fokus Arsen justru tertuju pada guru seni budaya yang dulu mengajar ia saat SMP juga. "Lo berhasil ngempesin bannya?"
Sean dengan jumawa mendongakan dagunya. "Berhasil dong, mampus sedannya kempes!" jawabnya dengan bangga. Seakan apa yang ia lakukan adalah prestasi yang paling membanggakan. "Sialnya kesorot CCTV parkiran, Kak."
Berlanjut di KaryaKarsa😉
Di Bonus Chapter Terakhir ini 5k kata full tentang tingkah 3 anak Jioon🤭Ayo lanjut baca di Karyakarsa, caranya:
1. Masuk ke web karyakarsa.com
2. Search akun Arrastory
3. Pilih karya yang mau teman-teman beli. (Si Julid ARJIOON Bonus Chapter 10) atau Pilih Paket dan beli Paket 6-10 (Untuk pembaca yang belum membaca dari BC 6)
4. Lakukan pembayaran dulu. Bisa lewat dana, shopee pay, ovo dan sebagainya ....
5. Part berhasil dibuka dan teman-teman bisa baca Bonchap SJA🤸
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Julid ARJIOON✓
Ficção GeralDi balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar radio yang selalu membuat tawa orang sekitar itu rupanya tak cukup untuk memberi warna pada hidupnya. Semua rahasia Jioon mulai terungkap ketik...