Tara baru selesai menjemur bajunya dan Jioon. Ia berjalan masuk ke dapur, bergabung dengan Bunda yang sedang membuat makan siang untuk Ayah. Sebenarnya bisa saja Tara hanya lewat dan langsung ke kamar, tetapi langkahnya dengan lancang membawa ia mendekati Bunda.
"Mau makan, Mbak?" tawar Bunda yang masih fokus memotong bawang bombai. "Bunda mau masakin makan siang buat Ayah, Bang Jioon mau sekalian dibuatin nggak, Mbak?"
Tara menggeleng, perempuan itu mengambil pisau untuk mengupas kulit apel. "Nggak usah, Kak Jioon biasanya beli sendiri," tolak Tara yang kini sudah duduk di kursi tinggi pantry menghadap sang bunda yang masih memasak. Tidak, jangan berharap Tara membantu, perempuan itu hanya menonton.
"Kamu waktu ke pasar belanja apa aja?"
"Sayur, ikan, tempe," jawab Tara seadanya, "banyak."
Bunda sudah terlalu paham. Karakter putrinya memang seperti ini, tidak banyak bicara dan tidak terlalu ekspresif. Dari sebelum masalah menikah pun, Tara memang jarang berbicara. Harus Bunda yang lebih aktif dan banyak berbicara.
"Kamu udah bisa masak apa aja, Mbak?"
"Goreng ayam, tempe bakar," jawabnya masih singkat di sela-sela mengunyah apel, "sama nasi daun jeruk."
"Nasi daun jeruk?"
Anggukkan Tara beri sebagai jawaban. Sebenarnya ia tertarik untuk bercerita tentang nasi yang dipuji enak oleh Jioon itu, tetapi egonya menahan, ia harus tetap terlihat marah. "Iya."
Bunda masih berusaha mengajak putrinya mengobrol. "Resepnya apa itu? Di dapur sebelah kayaknya ada daun jeruk, deh. Kamu bisa buatin nggak, Mbak? Sekalian buat bekal makan siang ayah."
Tak langsung memberi jawaban, Tara masih mengunyah apelnya. Otak memilih untuk menyetujui permintaan Bunda dan menganggap bahwa ini sebuah pembuktian pada orang tuanya, sedangkan hati si pemilik ego tinggi tentu saja menolak, ia masih ingin membuat orang tuanya merasa bersalah.
"Tapi, kalo kamu nggak mau juga nggak apa-apa, kok--"
"Aku ambil daun jeruk dulu di dapur sebelah dulu," sela Tara kini sudah beranjak dan menuju dapur catering milik bundanya di rumah sebelah. Walaupun setiap langkahnya berisi penyesalan karena menyetujui permintaan Bunda, tetapi ia tetap meneruskan langkah itu. Masih ada cara lain untuk membuat orang tuanya menyesal karena sudah menikahkannya..
Jika Jioon menilai silent treatment adalah hal yang paling buruk dari istrinya, dia salah! Dedam dan berusaha membuat orang lain merasa bersalah akan apa yang sudah diperbuat padanya adalah pikiran Tara yang paling buruk. Kalau sampai Arjioon tahu, sudah pasti Ghistara habis diceramahi.
Sebenarnya apa yang Tara lakukan itu tidak sepenuhnya salah. Ia hanya ingin memberi tahu pada orang tuanya tentang hasil dari perlakukan mereka pada sang anak. Sayangnya, tak ada satupun dendam Tara yang dipahami Ayah dan Bunda. Dari tidak semangat kuliah yang sialnya masih tetap mendapatkan nilai sempurna, hidup sesuka hati dan bermalas-malasan, bahkan sampai ke memperlihatkan bahwa ia tidak begitu bahagia setelah menikah. Orang tuanya tidak menilai begitu.
Tujuan Tara hanya satu. Membuat Ayah dan Bunda menyesal. Sudah, hanya itu.
Memang terkesan egois, tapi rasanya itu sebanding dengan banyaknya mimpi Tara yang terkubur. Bagi Ghistara, Ayah dan Bunda adalah seseorang yang sudah menggunting sayapnya untuk terbang. Walaupun yang Tara lakukan tidak sepenuhnya salah, tetapi perempuan itu juga tidak bisa dikatakan benar.
"Buk, mau minta daun jeruk." Tara dengan santai menghampiri pekerja bundanya yang sedang mencuci piring. "Tadi udah bilang ke Bunda."
Bu Wati, salah satu tangan kanannya Bunda. Beliau yang mengkoordinir para pekerja lainnya. Wanita sunda berusia setengah abad lebih itu masih tetap gesit. "Iiih, panganten anyar. Neng Tara damang? Naha ayeuna tara katingali?" (Wah, pengantin Baru. Neng Tara sehat? Kenapa sekarang jarang keliatan?)
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Julid ARJIOON✓
General FictionDi balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar radio yang selalu membuat tawa orang sekitar itu rupanya tak cukup untuk memberi warna pada hidupnya. Semua rahasia Jioon mulai terungkap ketik...