7. Surat Perjanjian

2.7K 497 26
                                    

"Apaan, neh?" Kerutan di kening Jioon terlihat sangat jelas. Ia membuka map coklat yang Tara berikan. "Surat perjanjian?" bacanya. Jioon mendongak ke arah perempuan yang duduk di hadapannya.

Tara menggerakkan dagunya, menunjuk kertas di tangan Jioon. "Baca," perintahnya. "Gue udah tulis semua perjanjian kalo kita menikah. Lo baca dulu baik-baik, kalo ada yang mau ditambah nanti gue revisi."

"Tidak ada kontak fisik antara pihak pertama dan pihak kedua, kecuali saat berada di hadapan salah satu keluarga." Dengan nada mengejek Jioon membaca point pertama. "Pihak ke dua tidak boleh mencampuri kehidupan pihak pertama, begitupun sebaliknya."

Jioon masih terus membaca poin-poin lainnya. Tara menulis 5. "Pisah kamar, merahasiakan hubungan dari publik, dan urus hidup masing-masing," lanjutnya membaca isi surat tersebut.

"Ada poin yang mau lo tambahin, Kak?" tawar Tara. "Atau mau langsung tanda tangan?" Dua buah materai dan pulpen ia sodorkan.

Jioon membaca lembar kedua yang isinya sama. Tatapan mata ia tujukan kepada Tara. Senyuman miring terbit di bibir. Tangan kanannya merobek dua kertas perjanjian itu secara bersamaan. "Kurang-kurangin baca novel romantis tentang perjodohan," ucapnya sinis.

Tara membelalak. Ini tidak seperti dugaannya. "Plot awal kisah lo sama gue udah kayak cerita-cerita pasaran yang sering gue baca!" ucap Tara. "Ya, mending sekalian aja jadiin mereka buku pedoman."

"Terus lo mau cerita kita diisi sama berantem, bagi-bagi berapa ruangan, salah satu lebih dulu jatuh cinta dan satunya lagi mati ketabrak?" tanya Jioon. "Mending lo bikin novel aja!"

Keduanya berada di sebuah kafe. Memilih tempat paling ujung dengan alasan tidak ada yang lalu lalang. Orang-orang mengira mereka ingin berduaan, bercanda saling menggoda tanpa ada yang menggangu. Padahal, kenyataannya mereka sedang adu argumen seperti debat presiden.

"Ini pernikahan, Ra." Jioon yang awalnya mulai tersulut emosi, kini bisa kembali mengendalikannya. "Apapun alasan kita berada di titik itu, lo akan tetap jadi tanggung jawab gue," jelas Jioon. "Gue nggak bisa diem aja kalo lo buat salah karena dosanya nanti ke gue juga."

Tara masih tetap diam. Gelas lemon tea dipegangnya erat-erat. Untung saja tidak pecah karena lupan emosi yang perempuan itu luapakan. "Terus harusnya gimana?" tanya Tara. Ia mencoba untuk mengikuti alur Jioon. "Lo maunya kayak gimana?"

"Ya, jalanin aja," jawab Jioon. "Gue akan setujui beberapa poin kalau lo nggak nyaman, tapi nggak dengan kertas kayak ginian!"

"Perjanjian di atas kertas itu akan terlihat jelas, Kak."

Jioon meminum jus mangganya. "Gue tanya satu hal sama lo." Tatapan mata sipitnya semakin menajam. "Tujuan lo nikah apa?"

"Bantuin lo," jawab Tara. "Inget, Kak. Kita nikah bukan karena sama-sama mau. Kalau misalnya bisa nolak, kita pasti udah nolak."

Tara berhasil membungkam mulut Jioon. Perempuan pendiam ini sebenarnya paling juara jika harus adu omong. Namun, Tara bukan jenis manusia yang suka berdebat. Ia mengetahui setajam apa perkataannya dan takut melukai hati orang lain secara tak sadar.

"Gue nggak mau ada surat perjanjian kayak gitu," kata Jioon. "Kalo lo mau kita nggak sekamar. Ya, silahkan. Berdoa aja dikasih apartemen yang dua kamar. Tentang kontak fisik juga, gue nggak akan tiba-tiba nerkam lo kali." Tatapan Mata Jioon tak setajam sebelumnya. "Kita bisa obrolin baik-baik. Nggak perlu pake beginian."

Obrolan keduanya terpaksa berhenti. Seorang pelayan datang mengantarkan makanan yang mereka pesan. Mie goreng untuk Jioon, dan rice bowl milik Tara.

Hawa panas dari emosi keduanya kini tergantikan dengan aroma makanan yang menggugah selera. Aroma saus mentai dari mangkuk Tara berpadu dengan rempah mie Aceh yang Jioon nikmati.

"Kok pedes?" protes Jioon. "Wah, gila! Lidah gue kebakaran!"

Tara menatap Jioon dengan mulut sedikit terbuka. Sendok di tangannya masih menggantung, tak jadi masuk ke dalam mulut.

"Mie Aceh yang gue makan biasanya nggak sepedes ini," ucap Jioon. "Ini kayaknya mie Aceh level gosip tetangga."

Tak lagi mempedulikan kehebohan Jioon. Tara kembali menikmati makanannya. Berdebat dengan lelaki di hadapannya ini ternyata cukup menguras energi.

"Gue minta minum lo ya." Tanpa menunggu persetujuan dari Tara, Jioon sudah menghabiskan lemon tea yang tinggal setengah lagi. "Gue pesenin lagi. Punya gue juga udah abis. Gila, mienya pedes banget!"

Tara langsung beranjak dari posisi duduknya. Ia kembali memesan minuman untuknya dan Jioon. Milk shake dan jus jeruk adalah pilihannya.

"Ditunggu ya, Kak," ucap penjaga kasir sembari memberikan struk dan kembalian.

Langkah Tara kembali ke meja di mana Jioon berada. Matanya langsung membulat saat melihat lelaki itu sedang menikmati daging asapnya.

"Ra, gue takut mules kalo makan mie Aceh. Abis ini gue harus nge-mc." Dengan cepat Jioon memberikan penjelasan. "Lo mau pesen lagi?"

"Abisin," kata Tara. Ia membiarkan Jioon menikmati makannya. "Sendok gue mana?"

Jioon yang sedang menyuap nasi langsung terdiam. Mulutnya melahap makanan di atas sendok hingga bersih. "Ini?" ucapnya. Ia dengan santai mengangkat sendok yang baru saja keluar dari dalam mulutnya.

"Pake sendok lo, kan, bisa!" sewot Tara.

"Sama aja anjir," balas Jioon. "Lo mau pake sendok lo lagi?" Ia mengulurkan sendok di tangannya kepada Tara.

"No, thanks!"

"Sendok doang buset," komentar Jioon. "Gue makan pake sendok lo bukan berarti kita ciuman secara nggak langsung."

Nyawa Jioon yang hampir Tara bantai terselamatkan oleh seorang pelayan yang mengantarkan minuman. "Milkshake dan orange jus atas nama Kak Tara?"

"Iya, Mba. Makasih, ya." Tara langsung mengambil alih jus jeruk dan menikmatinya. "Itu punya lo, Kak," kata Tara. "Tadi lo kepedesan, jadinya gue pesenin susu."

Jioon menghabiskan makan siang milik Tara. Ia melirik sekilas pada gelas berisi minuman warna coklat. "Minumnya tukeran dong, Ra," pinta Jioon. Milkshake rasa coklat ia sodorkan kepada Tara. "Gue nggak suka susu."

"Hah?"

Dengan santai Jioon menguasai gelas berisi jus jeruk milik Tara. Meminumnya dengan tenang melalui sedotan yang sebelumnya digunakan oleh Tara.

Tara benar-benar harus membiasakan diri dengan tingkah Jioon yang sembarangan mengambil makanan dan minuman miliknya. "Lo nge-mc di GenZ?" tanya Tara. Ia berlagak membuka percakapan.

"Iya," jawab Jioon. "Setiap minggu emang selalu ngadain event. Nah, pembawa acaranya itu Gue, Yuthika si bacot yang pernah ketemu sama lo itu, sama Chandra."

"Berarti gue balik sama ojol aja, deh," kata Tara. Perempuan itu sudah siap membuka ponselnya. "Kalo ikut sama lo, yang ada mati kebosanan di mobil."

Jioon menghabiskan jus jeruknya terlebih dahulu. "Anter gue aja, deh. Terus mobilnya lo bawa."

"Mobil lo?"

"Iya, lah. Pake aja. Nanti beres acara gue ambil ke rumah lo."

"Lo nggak takut kalo mobilnya gue curi?" tanya Tara. "Gue orang asing, loh."

Jioon mengedikan bahunya. "Gue tau rumah lo, nomor telpon keluarga lo. Kalo sampe mobil gue dicuri, ya, tinggal lapor polisi," jawab lelaki itu tanpa beban. "Lagian gue nggak yakin lo tau tempat jual mobil bodong di mana."

Tbc

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang