14. Uang

2.8K 472 37
                                    

"Kak ...," panggil Tara pelan. Tangannya mengaduk-aduk seral di mangkuk. Ia melipat bibirnya ke dalam, merasa tak enak untuk berbicara pada Jioon.

Jioon mendongak. Ayam gorengnya sudah ia abaikan. "Kenapa?" tanyanya dengan tatapan tertuju pada Tara.

Meja makan pagi ini terasa cukup canggung. Tara dengan pakaian rapi karena akan berangkat kuliah, sedangkan Jioon masih mengenakan piyama. Lelaki itu baru tidur dua jam setelah menggarap revisian skripsinya.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Jioon. Ia belum melanjutkan sarapan karena terlalu penasaran. "Ada yang mau lo omongin?"

Tara masih tetap menunduk, sereal di dalam mangkuknya bahkan sudah menyerap banyak susu. "Lo punya uang nggak?" tanya Tara pelan.

"Uang?" Jioon tidak terlalu mendengar pertanyaan Tara, tetapi ia langsung paham saat melihat anggukkan Tara. "Yang minggu kemarin udah abis ya?"

"Kalo nggak ada juga nggak apa-apa, kok," ucap Tara. Ia juga sebenarnya merasa tak enak karena menghabiskan uang yang Jioon berikan dengan cepat, bahkan dalam waktu kurang dari seminggu.

"Buat hari ini masih ada nggak?" tanya Jioon. Hari ini ia hanya memiliki uang untuk bensin, itupun sudah ia hemat-hemat hingga gajian minggu depan.

"Ada, Kak," jawab Tara bohong. Sebenarnya ia sudah tidak memegang uang sama sekali, kemarin habis saat diajak keluar oleh Giselle.

Jioon mengangguk, ia tahu Tara berbohong. "Lo kuliah, kan? Biar gue anter," ucap Jioon yang sudah melanjutkan sarapannya. "Berangkat jam berapa?"

"Abis ini," balas Tara yang sudah menghabiskan sarapannya. "Lo mau ke kampus juga, Kak?"

"Nggak. Gue nganter lo aja," jawab Jioon. "Daripada ngongkos, kan?"

Tara mengangguk setuju. "Ya udah, cepetan sarapannya. Gue beresin ini dulu," ucap Tara yang membawa mangkuknya ke wastafel.

Finansial adalah masalah paling utama sejak awal pernikahan keduanya. Jioon yang awalnya mengira bahwa gaji dari penyiar dan bayaran saar manjadi pembawa acara akan cukup, tatapi nyatanya salah. Belum lagi fasilitas uang jajan yang sudah tidak mereka terima dari orang tua masing-masing.

"Biarin aja, Ra. Nanti gue yang nyuci piring," ucap Jioon saat melihat Tara di depan wastafel. "Lo siap-siap berangkat aja, gue bentar pagi beres."

Keduanya memang merasa bebas, tetapi secara tak langsung juga terikat. Jioon memang tak lagi terkena omelan jika pulang lewat dari tengah malam, tetapi ia berusaha untuk pulang lebih awal karena khawatir Tara sendirian. Begitupun dengan Tara yang dapat menonton drama Korea seharian tanpa mendapatkan ceramah dari sang bunda, namun ia juga harus ingat akan cucian baju, piring dan setrikaan yang menumpuk.

Mereka bebas dari orang tua, tetapi tanggung jawab baru datang sebagai pengikat.

"Lo gitu aja?" tanya Tara saat Jioon sudah selesai sarapan dan siap mengantarnya kuliah. "Pake baju tidur?"

"Lah, gue nganter lo doang. Ngapain ganti baju? Abis dari kampus juga gue mau lanjut tidur." Jioon dengan tenang mengambil kunci mobil dan memakai kacamatanya. Rambut berantakannya tidak ia hiraukan, lagipula tak ada yang melihatnya selain Tara.

Keduanya beriringan keluar dari apartemen, melangkah menuju lift yang membawa mereka ke basement tempat mobil Jioon terparkir.

"Balik jam berapa? Biar gue jemput lagi."

"Nggak usah, nanti gue minta jemput Ghilang aja," tolak Tara. "Lo semaleman belum tidur."

"Jangan, Ghilang nanti malah ke apart, terus ngajak gue main pees," larang Jioon yang sudah mengemudikan mobilnya memasuki jalanan ibu kota. "Kalo udah beres telpon aja. Gue siang juga udah bangun."

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang