Rambut Jioon sudah tidak berbentuk. Kepalanya benar-benar sakit, ia bahkan berkali-kali menarik surainya hingga tidak berbentuk. Sayang, pusing yang Jioon rasakan kali ini tak bisa sembuh oleh obat.
"Tara nggak suka kalo gue minjem uang, tapi buat besok gue bener-bener kosong." Jioon kembali mengacak rambutnya. HR-V hitam sudah terparkir di basement apartemen sejak beberapa menit yang lalu, tetapi Jioon masih belum ada rencana untuk keluar dan menuju apartemennya.
Pikirannya benar-benar runyam. Seminar proposal yang dadakan dengan kesiapan dibawah lima puluh persen, uang bulanan untuk Tara yang sudah habis, dan sekarang ia juga tidak memiliki uang sama sekali.
"Minta ke Mama aja apa ya?" gumam Jioon yang sudah tidak tahu harus melakukan apa. "Tapi, gue nggak enak. Mana tiap minggu Mama sama Bunda sering ngirimin makanan."
Dagu Jioon bertumpu di kemudi. Matanya menatap kosong pada basemen yang sepi. Sedangkan pikiran ia sudah pergi kesana-kemari, berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya.
"Gue jadi kangen Mama," gumam Jioon masih tetap menatap kosong. Ponsel di tangannya sesekali ia ketukkan pelan pada dashboard. Berharap menutupi keheningan di dalam mobil. "Mama lagi ap--" Perkataan Jioon langsung terhenti. Matanya membulat saat melihat panggilan masuk di ponselnya.
Sekuat itu ikatan batin antara ia dan sang mama?
Mamadelku is calling ....
"Adek?"
Jioon hanya berdeham, memberi tahu bahwa ia menjawab panggilan suara ini. Bibir bawah sudah Jioon gigit kuat-kuat, berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
"Adek ada di mana? Kamu sehat, kan? Tara juga baik-baik aja, kan?"
"I-iya," jawab Jioon singkat dan dengan cepat mengusap air matanya yang dengan lancang membuat sungai di pipi.
"Beneran? Mama dari siang kepikiran kamu sama Tara terus. Kalian nggak apa-apa, kan?"
Jioon menjauhkan ponselnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosinya agar bisa menjawab pertanyaan Mama. Sial, bukannya berhasil mengendalikan air mata, rasa sesak justru semakin terasa saat ia memaksakan diri untuk tidak menangis.
"Adek? Kamu masih denger suara Mama? Adek?"
"Mm-maa ..., a-aku tutu-tup dulu ya." Tanpa mempedulikan balasan dari Mama, Jioon langsung memutuskan panggilan suara itu. Tangisnya langsung pecah, ia tak kuat menahan sesak di dada.
Entah mengapa, mendengar suara khawatir Mama membuat Jioon semakin tidak bisa menahan air matanya. Jioon ingin bercerita, ia ingin meluapkan semua rasa takutnya, tetapi ia tak mau para orang tua tahu tentang permasalahan rumah tangganya dengan Tara.
From: Mamadelku
Adek, minggu lalu mama beresin kamar kamu. Terus waktu nyapu kolong sofa nemu uang udah pada berdebu. Ini mama transfer sekarang ya, mumpung inget. Lumayan buat beli bensin.Bagaimana bisa Jioon menahan air matanya. Ia tahu Mama berbohong, tidak mungkin juga ia menimbun uang sebanyak dua juta di bawa sofa kamarnya. Itu adalah hal yang mustahil, Mama hanya menggunakan alasan itu untuk menjaga harga diri putranya yang sudah menikah.
From: Mamadelku
Oh, iya. Akhir pekan nanti Mama mau pinjem Tara, ya. Mama bosen di rumah, pengen shopping sama Tara dan Mba Nana.Dada Jioon benar-benar sesak. Dalam posisi seperti ini ia benar-benar bersyukur memiliki Mama yang pengertian. Tanpa Jioon bercerita, seakan paham tentang apa yang putranya rasakan, Mama dengan cepat menjadi juru selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Julid ARJIOON✓
Ficción GeneralDi balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar radio yang selalu membuat tawa orang sekitar itu rupanya tak cukup untuk memberi warna pada hidupnya. Semua rahasia Jioon mulai terungkap ketik...