26. Arti Komunikasi

2.9K 503 48
                                    

Helaan napas Jioon menjadi pembuka saat ia masuk ke apartemen. Suasana sepi, tanpa ada suara televisi. Tara yang biasanya sedang duduk di ruang tengah juga tidak terlihat, mode marah perempuan itu masih berlanjut.

Jioon melangkah lebih dalam, pintu kamar Tara menjadi tujuan pertama. "Ra, gue laper," ucapnya dengan kepala yang menyembul ke dalam kamar. "Lo masak nggak?"

Tidak ada jawaban dari Tara, tetapi perempuan itu tetap beranjak dari tidurnya. Berjalan menuju dapur, mencari makanan beku kiriman para orang tua yang bisa ia buat. Meskipun sedang dalam mode bungkam, lambung suaminya tak boleh menjadi korban.

"Stok frozen dari Mama sama Bunda udah abis ya?" Jioon ikut mengintip kulkas yang Tara buka. "Gue mau mi boleh nggak?" pintanya yang masih sempat mencari peluang memakan mi diluar jatah mingguan.

Sialnya, lambung Jioon masih tetap dibawah pantauan Tara meskipun ia sedang marah. Perempuan itu mengambil sosis dan beberapa nugget. Setidaknya ini lebih baik daripada mi instan.

"Besok gue libur, lo mau ke supermarket kagak?"

Belum ada tanda-tanda Tara akan menjawab pertanyaan Jioon. Selain mulutnya yang tidak mengeluarkan suara, telinganya juga mematikan fungsi pendengaran.

Jioon yang merasa lelah akhirnya menyerah. Memilih duduk di ruang makan, sembari memperhatikan Tara menggoreng sosis dan nugget. Tubuh serta pikirannya sudah bekerja kerasa selama di kantor dan radio, tetapi masalah rumah tangga justru menyambut ia ketika tiba.

Sepiring nasi panas serta goreng sosis dan nugget Tara sodorkan pada Jioon, lalu disusul dengan air mineral untuk suaminya sebelum kembali masuk ke kamar.

"Kemana?" Tangan kiri Jioon menahan pergelangan tangan Tara. "Temenin gue makan."

Dengan kasar Tara berusaha melepaskan tangannya, tetapi tentu saja tenaga ia kalah. "Lepas!"

"Duduk!" perintah Jioon yang masih menggenggam pergelangan tangan istrinya. "Gue bilang duduk!"

Tara masih tetap berusaha melepaskan tangannya yang mulai terasa sakit. Jioon terlalu keras menggenggamnya. Habis ini pergelangan tangan Tara pasti merah.

"Ra ...," panggil Jioon penuh penekanan, "duduk!" Ia sedikit menarik tangan sang istri untuk bergabung di meja makan. "Tolong banget, gue nggak mau marah."

Sejujurnya Tara masih bisa memberontak, egonya tetap menolak perintah Jioon dan memaksa untuk melanjutkan mode diamnya. Tetapi, tatapan mata sang suami sangat menyeramkan, ini pertama kalinya ia melihat Jioon seperti itu.

"Udah!" sentak Tara sembari melepaskan tangan Jioon. Ia menuruti permintaan sang suami, walaupun wajahnya terlihat tidak suka. "Cepet makan!"

Tak ada lagi obrolan di ruang makan. Jioon memilih fokus pada makan malam yang terlambat, sedangkan Tara duduk diam berlagak fokus pada apapun yang netranya tangkap. Beberapa bagian kotor di pigura foto pernikahan mereka saja dapat Tara lihat.

"Mau sampe kapan lo diem?" Jioon membuka obrolan di sela-sela makanya. "Pepatah emang bilang diam itu emas, tapi masalah nggak akan selesai kalo lo cuma diem."

Silent Treatment Tara memang sangat parah. Ia bahkan mampu mendiamkan seseorang hingga berbulan-bulan, buktinya saja pada sang ayah, semenjak menikah, Tara tak pernah lagi berbicara pada beliau. Bahkan, pada Bunda pun sebenarnya enggan.

Jioon beranjak dari ruang makan, menyimpan piringnya pada wastafel sembari cuci tangan. "Mau ke mana?" tanyanya saat melihat pergerakan Tara yang juga beranjak dari ruang makan.

Konsep apartemen tanpa sekat antara dapur, ruang makan dan ruang tengah membuat mereka hanya memiliki ranah privasi di kamar masing-masing. Tara sedang masak, Jioon dapat melihatnya dari ruang tengah atau saat Jioon menjemur pakaian, Tara bisa melihat suaminya dari ruang makan.

Si Julid ARJIOON✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang