🌾HIJRAH BAGIAN TUJUH🌾✅

18.7K 1.4K 6
                                    

"Assalamu'alaikum, Umi." Salam Iqbal ceria saat sudah sampai dapur. Menyalim tangan wanita paling berharga dalam hidupnya, Iqbal tersenyum lebar.

"Wa'alaikumussalam, ada apa ini? Kayaknya lagi senang banget?" Umi Nazda menangkup wajah sang putra yang tampak lebih berseri daripada biasanya. "Kamu lagi suka seseorang, ya?" tebak Umi.

Iqbal tersentak, "astaghfirullah Umi, mana mungkin Iqbal suka sama seseorang juga, Iqbal takut dosa Umi." Sedikit memberi jarak, Iqbal mencebikkan bibir menatap sang Umi.

Umi Nazda terkekeh pelan, wajah tanpa cadar yang menutupi itu nampak anggun seiring suara tawa merdu mengalun. Tangannya terulur mengusap puncak kepala sang anak penuh perhatian. "Rasa suka terhadap lawan jenis itu fitrah manusia, anakku. Di perbolehkan bagi setiap manusia memiliki rasa suka, tapi harus tau batasan juga bagaimana cara menyikapinya."

Iqbal tersenyum, Umi Nazda adalah sosok perempuan pertama yang ia cintai sepenuh hati, setelahnya Annisa. Namun selama seminggu ini, hatinya seolah-olah memilih nama lain untuk hinggap. Berkali-kali Iqbal berusaha menepis, namun tak jua rasa itu hilang.

"Siapa perempuan beruntung yang buat putra Umi ini kepincut, hem?" Pertanyaan sang Umi membuat Iqbal sedikit tersentak, namun tak urung membuat daun telinganya memerah.

"Iqbal belum bisa cerita, Umi. Do'akan Iqbal buat berjodoh sama dia ya, Umi."

"Aamiin. Emang kamu udah siap menikah?" Umi Nazda mendudukkan diri pada salah satu kursi meja makan dekat pantry, menyeruput kembali rebusan obat herbal dari dalam cangkir porselen perlahan.

"Belum sih, Umi." Iqbal menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Hm, tak apa, asal kamu dapat mengendalikan rasa suka itu dan tak melupakan Allah. Ya sudah, kamu mandi gih sana."Iqbal hanya mengangguk, kemudian meninggalkan Umi Nazda hendak menuju kedalam kamar.

Menjatuhkan tubuh pada ranjang, Iqbal teringat akan sentuhan tangan Aqueena seminggu yang lewat. Dirinya terkekeh kecil, pada saat itu Iqbal sempat tak fokus mengajar. Berulang kali dia ditegur oleh santriwan lain karena kedapatan melamun. Dan lamunannya tak jauh-jauh dari Aqueena.

Berbalik memeluk guling, Iqbal melepas peci miliknya lalu meletakkannya diatas nakas. Menatap pantulan dirinya pada cermin yang menyatu pada lemari, tanpa sadar Iqbal tersenyum. Masih terekam jelas di ingatan, bagaimana derasnya darah berdesir didalam tubuh, jantung yang memompa secara berlebihan dan tak wajar, juga hati yang menjadi tak karuan. Dan itu karena seorang Aqueena, entah kenapa kehadiran sepupu yang tak pernah ia ketahui sebelumnya itu membuat Iqbal tersenyum semakin lebar.

"Mas Iqbal!" Teriakan Nisa dari luar pintu kamar membuat Iqbal tersentak dan kembali kepada kesadaran. Matanya mengerjab tiga kali sembari terus beristighfar berulang dalam hati.

"Astaghfirullah, apa yang aku fikirkan? Maafkan hamba ya Allah, hamba khilaf. Godaan perempuan ternyata sangat sulit untuk hamba hindari, maafkan hamba ya Allah." Berkali-kali Iqbal menggelengkan kepala, tangannya bergerak mengusap wajahnya kasar.

"Mas?" Suara Nisa kembali mengalihkan atensi Iqbal.

"Ada apa, Nis?" Tanya Iqbal setelah berhasil menguasi ekspresinya. Nisa menatap kakaknya itu bingung, seperti ada sesuatu yang terlihat membebani kakaknya saat ini, seperti terlihat sedang menyesali sesuatu?

Hah, sudahlah. Lebih baik dirinya mengutarakan tujuannya menemui Iqbal sekarang. "Nisa bareng Umi mau ikut pengajian, jadi Nisa minta tolong sama Mas buat ajarin Aqueena ngaji."

Bagai ada suara petir masuk ke dalam dua telinganya, Iqbal sontak melotot seketika. Bersusah payah lelaki itu menelan saliva, begitu sadar bahwa dirinya akan menjadi guru untuk Aqueena sore ini.

HIJRAH [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang