🌾HIJRAH BAGIAN DUA PULUH EMPAT🌾 ✅

15.6K 1.2K 14
                                    

"Cie, cie ... yang besok bakalan ubah status." Perkataan Aqueena spontan membuat Iqbal menoleh ke belakang. Disana, Aqueena berdiri dalam balutan sweater over size polos berwarna abu-abu di padukan rok plisket putih tengah tersenyum jenaka menatap dirinya.

Wajah oval dalam balutan bergo sewarna sweater itu tampak semakin cantik tiap harinya. Iqbal tak bisa memungkiri jika debaran untuk Aqueena masih ada, dan mungkin akan tetap ada.

Oh ... maafkan Iqbal, Zahrana. Sepertinya pria itu akan kesulitan untuk membuka hati kembali.

"Ngapain duduk di sini?" tanya Aqueena. Gadis itu bahkan sudah berdiri di samping Iqbal dengan sedikit berjarak.  "Itu tempat duduk gue, by the way."

Perkataan Aqueena dalam nada jenaka membuat Iqbal terkekeh kecil, berusaha  sekuat tenaga menepis debaran menggila yang seharusnya tidak ada bahkan mungkin sudah ia hilangkan.

Iqbal dan Aqueena sangat jarang berinteraksi, kalau pun ada satu waktu yang mengharuskan mereka bertemu pasti hanya akan memakan waktu sebentar saja. Dasarnya Iqbal saja yang lemah, begitu mudah jatuh dalam pesona sepupunya ini.

"Saya hanya berjalan-jalan tadi, terus liat kursi ini---" Iqbal menatap kursi kayu reot yang ia duduki. Bukan tanpa sebab Iqbal duduk di sana, kursi ini adalah tempat di mana Aqueenanya selalu menghabiskan waktu menghafal bacaan sholat tiap hari. Harum tubuh Aqueena seakan melekat di kursi ini, bahkan bayangan gadis itu juga. Membuat Iqbal merasa rindu, lalu memilih untuk duduk pada tempat yang gadisnya dulu tempati.

"---terus karena capek, saya duduk," lanjut Iqbal. Ingat, Iqbal duduk bukan karena capek. Tapi karena Iqbal merasa Aqueena berada di dekatnya jika ia duduk di sana.

"Iya deh, gue percaya." Mengayunkan kaki kiri, Aqueena merogoh saku sweater yang ia kenakan. "Can can," tunjukkan. Dua buah sarung tangan rajut berwarna hitam melambai di depan wajah Iqbal.

Dahi pria itu berkerut, matanya menatap sekilas Aqueena lalu kembali pada sarung tangan. Buat apa sarung tangan itu?

"Nah, pake!" pinta Aqueena,  meletakkan satu buah sarung tangan  di atas paha Iqbal. "Gue mau nyalim calon pengantin," lanjutnya.

Gadis itu terlalu fokus memasang sarung tangan itu pada tangan kanannya, hingga tak menyadari tatapan penuh arti dari Iqbal.

Setelah selesai dengan urusannya, Aqueena dengan mudah menyodorkan tangan yang di balut sarung tangan itu pada Iqbal. "Loh kok gak di pake!" Aqueena mengerucut kesal. "Pake lah Iqbal! Gue mau salim ini."

"Ah, iya." Iqbal tak tahu lagi harus bagaimana merespon, pria itu hanya mengikuti apa kata Aqueena saja. Hingga saat benda itu terpasang di tangan Iqbal, dengan cepat Aqueena mengambil tangan lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu lalu menempelkan tepat di kepala lumayan lama.

Iqbal tersentak, perilaku Aqueena kembali membuat dirinya bimbang. Debaran itu semakin kuat, darahnya berdesir semakin hebat. Walau masih terhalang oleh sarung tangan, namun Iqbal dapat merasakan sensasinya. Ia tahu apa yang ia rasakan ini salah, Iqbal sudah berusaha menepisnya. Tapi Aqueena malah membuatnya semakin bergejolak, dan Iqbal kewalahan di buatnya.

Haruskah di sini Iqbal menyalahkan Aqueena, atau malah menyalahkan dirinya yang terlalu lemah dan tidak tegas menyangkut perasaan.

"Aqueena, kau---" Iqbal semakin tercekat, saat dari dekat dia mendapati  senyum Aqueena mengembang. Posisi Aqueena yang bersimpuh di hadapannya---walau masih di beri jarak---membuat Iqbal dengan jelas dapat meneliti raut wajah gadis itu.

Haruskan Iqbal bersyukur jika malam ini pelataran masjid sedang sunyi?

"Huwaa ... I'm so glad you're getting married."

HIJRAH [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang