🌾HIJRAH BAGIAN ENAM BELAS🌾✅

15.8K 1.3K 5
                                    

Memiliki pribadi tempramental dan sulit mengontrol emosi sejak kecil membuat Aryan sejatinya kesulitan. Pernah suatu waktu Aryan memecahkan kaca lemari berisi tropy saat masih menduduki bangku kelas dua tsanawiyah hanya karena Nisa--yang saat itu berumur tiga tahun tak sengaja menumpahkan setetes susu dari dot ke celana Aryan.

Bayangkan saja, balita kecil yang belum mengetahui mana benar dan salah hampir menjadi sasaran amukannya, beruntunglah saat itu Aryan menemukan sasaran empuk selain adiknya Nisa.

Walau marah mengusai tetap saja hati kecil Aryan masih tidak tega melampiaskan amarah itu pada Nisa.

Sejak saat itu pula Aryan melakukan konsultasi pribadi pada psikolog di daerahnya juga di Jakarta. Sedikit demi sedikit, Aryan mulai dapat mengontrol emosi. Sikap tempramental yang suka menghancurkan barang saat sedang marah telah berkurang, walau masih bisa tersulut jika ada orang yang tak mematuhi perintahnya.

Pernah juga saat menduduki bangku aliyah tingkat akhir. Ada salah satu santri yang sangat sulit untuk di atur agar mematuhi peraturan pesantren. Awalnya Aryan masih biasa saja, karena tindakan santri itu masih dalam tahap melanggar peraturan kecil.

Hingga, tepat pada hari Senin dirinya mendapati santri tersebut mencekal santriwati yang lewat dan memaksa untuk memeluk santriwati tersebut. Membuat puncak amarahnya sudah di ambang batas.

Aryan tanpa ampun memukul, menendang, bahkan membuat tulang tangan kiri santri tersebut patah. Asal saja tidak ada santriwan lain yang melerai sudah pasti santri tersebut dapat meninggal di tempat.

Itu menjadi titik penyesalan terbesar di dalam hidup Aryan, saat mengetahui penjelasan sebenarnya dari si santri itu. Jika dia sebenarnya tak ingin melecehkan si santriwati, tapi ingin mencegah santriwati tersebut kabur dari lingkungan pesantren. Begitu mudah si santri tersebut memaafkan dirinya, bahkan orang tua santri tersebut juga memaafkannya tanpa syarat.

Sejak saat itu, Aryan bertekad untuk berubah. Dengan mengambil kuliah keluar negri. Tepatnya Kairo, Mesir. Tempat di mana para ulama yang baik akhlak serta paham agama berada. Menurutnya, selama ini Aryan sudah terlalu jauh pada Allah, itu juga yang mungkin menyebabkan amarah Aryan mudah meluap-luap.

Bersyukurlah Aryan, dalam empat tahun mengenyam pendidikan di Universitas Islam tertua di Mesir. Aryan mendapatkan ilmu yang bermanfaat juga kecakapan dalam mengontrol amarah.

Walau tidak sempurna seratus persen, tapi Aryan bersyukur. Setidaknya dia sudah tidak meledak-ledak lagi jika marah, hanya kadang melontarkan kalimat sarkas tanpa filter.

Iya ... hanya kalimat sarkas. Hehe.

Aryan mengusap wajahnya kasar, menenguk air mineral dari gelas hingga tandas.

"Mas, kenapa sih?" Tanya Nisa yang baru saja datang dengan piring kosong di tangannya lalu mengisi dengan nasi juga lauk pauk untuk menjadi santap siang.

"Gak pa-pa." Nisa mengeryit menatap Aryan. Sudah seperti perempuan saja, ucap Nisa membathin.

Menyuap satu sendok nasi beserta lauk ke dalam mulut, Nisa masih mendapati Aryan yang asik melamun. Apa yang sedang difikirkan kakaknya itu?

"Mas?! Mbak Aqueena cantik  ya?" ujarnya tiba-tiba setelah itu kembali memasukkan nasi ke dalam mulut. Entah kenapa Nisa ingin membahas Aqueena sekarang.

"Matanya ituloh, Mas. Cantik banget, keturunan om Dexter dan tante Rina emang gak main-main," lanjutnya lagi saat sudah berhasil menelan makanan masuk melalui kerongkongan.

Aryan hanya diam, tak menjawab. Ada benarnya juga apa yang di katakan Nisa, Aqueena memang cantik. Tak sekali dua kali Aryan menatap mata dengan iris hijau itu, terasa sangat dalam dan menenangkan. Bahkan dari dulu juga seperti itu.

HIJRAH [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang