🌾HIJRAH BAGIAN TUJUH BELAS🌾✅

15.7K 1.2K 6
                                    

"Alohaa, Paman Rian!! Aqueena is cooming!!" Teriakan Aqueena menggelegar mengisi tiap sudut ruang tamu. Kyai Akbar---paman Rian---menggeleng pelan, sedang Umi Nazda sudah tertawa dibalik cadarnya.

"Queen, salamnya mana?" Tanya Kyai Akbar tegas. Aqueena hanya cengengesan sembari menggaruk tengkuknya dari balik jilbab, pamannya kalau dalam mode tegas sedikir er ... menyeramkan. Sama seperti Aryan, ah tidak ding, Aryan setiap hari menyeramkan.

"Hehe, Assalamu'alaikum," ucap Aqueena sambil berjalan menuju sofa. Duduk pada ujung kanan sofa agar memiliki jarak dari Iqbal yang kini duduk di sudut kirinya.

"Wa'alaikumussalam. Aqueena menginap disini selama seminggu, bantu-bantu Umi Nazda buat siapin perlengkapan nikahan," jelas Kyai Akbar. Aqueena mengeryit, mereka gak pakai jasa WO kah?

"Gak pakai WO?"

"Enggak, toh cuma akad sama walimah kecil-kecilan saja. Sekalian sedekah sama warga sekitar." Aqueena hanya ber-oh ria. Pandangannya mengedar lalu berhenti saat iris hijaunya menatap Iqbal yang tengah menggulir beranda media sosial malas-malasan.

"Woi yang mau nikah," panggil Aqueena. Membuat Iqbal menoleh namun sebentar tak sampai sedetik, mungkin hanya sepersecon. Dia tak ingin rasa yang selama ini ia pendam untuk Aqueena malah meluap kembali dan tak dapat ia kontrol.

Saat ini saja Iqbal sudah hampir membatalkan pernikahannya begitu mendengar suara Aqueena. Sungguh, Aqueena sangat seberpengaruh itu untuk dirinya. Tapi melihat Aqueena yang biasa saja saat membahas persiapan pernikahan dengan Abi-nya, membuat Iqbal menarik diri lebih cepat. Aqueena tidak menyukainya, dia tahu itu. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Eh eleh ... malah di cuekin gue. Gue tau kalo lo pasti deg-degan karena minus enam hari lo bakalan nikah, tapi kan jangan jadi dingin juga." Aqueena kesal sebab Iqbal tak seramah biasanya saat bertemu. Padahal Aqueena sudah menganggap Iqbal sebagai abang sepupu terbaik, sudah ganteng, baik, ramah lagi.

Tidak seperti Aryan.

Aih, Aqueena andai kau tau bagaimana sulitnya Iqbal mengontrol dirinya untuk tidak membatalkan pernikahan karena melihat dirimu.

"Btw, calon bini lo mana? Kakak cantik gue." Iqbal masih diam. Hatinya sakit saat mendengar nada bicara Aqueena, sudah seperti seorang teman yang senang melihat temannya yang lain menikah.

"Ya Allah berasa ngomong ama batu gue. Andai mengumpat gak bikin celaka, segala macam binatang ragunan gue sebut." Aqueena kesal, ingin mengumpat tapi takut. Alhasil Aqueena hanya beristighfar lirih.

Kyai Akbar dan Umi Nazda saling berpandangan kemudian melempar senyum melihat keakraban dua saudara sepupu ini.

"G-gak mau ngedo'ain saya." Hanya mengatakan itu saja Iqbal sempat tergagap.

"Eh, kirain lo mendadak bisu tadi. Lo mau gue do'ain, boleh!" Aqueena sudah siap dengan tangan menengadah. Keningnya berkerut-kerut bingung. "Btw apa do'anye?"

Spontan suara tawa Kyai Akbar terdengar menggelengar membuat Aqueena dan Iqbal sedikit tersentak. Iqbal sudah mengelus dada melihat tingkah Abi-nya yang selalu saja membuat kaget, sedang Aqueena malah semakin mengerutkan dahi, bahkan kini hidung dan bibirnya ikut mengerucut karena merasa di tertawakan.

"Ketawa aja terus ketawa, bantuin kagak." Aqueena mencebik. Kyai Akbar malah semakin tertawa, membuat Aqueena benar-benar kesal. Lagian apa yang lucu dari dirinya coba? Gak ada kan? Pakaiannya masih normal gak compang camping.

"Mas udah. Gak baik tertawa berlebihan," peringat Umi Nazda.

"Noh dengar noh, gak bolek ketawa  berlebihan. Entar Paman kerasukan baru tau rasa." Aqueena jadi malas memanggil kembaran mommy-nya ini dengan sebutan Kyai sebagai mana  biasa, saat ini gelar Kyai gak cocok buat Pamannya yang punya selera humor receh kayak begini.

HIJRAH [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang