81. Serahkan Atma

117 35 28
                                    

Matahari sudah mulai bergeser sedikit demi sedikit, sorotan mataku tidak pernah lepas dari pemuda yang berdiri di depanku. Mata hijaunya begitu tajam dan senyuman miring tercipta seperti awal aku melihat untuk pertama kalinya. Aura hitam pemuda itu kembali muncul membuat mataku melebar, aku menoleh dan melihat ke bawah, gedung ini terlalu tinggi dan aku tidak bisa turun lewat pintu atau apapun. Cara yang paling cepat dan tepat, melompat.

   Yada kembali diselimuti oleh asap hitam membuatku yang melihatnya ketakutan. Tatapan mata itu begitu tajam seolah ingin menusukku, ia mengarahkan asap hitamnya ke arahku. Aku yang sudah berada di ujung gedung mau tidak mau harus menjatuhkan diri dari atas gedung.

"Kyaaaah!" teriakku memejamkan mata. Air mata ini perlahan menetes dan dalam hati berkata maaf dan maaf atas kesalahanku.

Samar-samar aku mendengar ada pijakan kaki yang melompat ke gedung-gedung. Namun, aku berusaha mengabaikannya sebentar lagi aku bakal pergi, pergi untuk selamanya. Air mata terus mengucur deras, aku merasa ada tangan lembut yang memegang tubuh ini seolah-olah terbang ke angkasa. Aku terus menangis tersedu-sedu.

Tidak ingin membuka mata sama sekali untuk melihat kenyataan bahwa aku sudah mati. Lalu aku merasakan ada yang ganjal dan tidak lama kemudian aku mendengar suara yang selama ini ku rindukan. Suara yang tidak pernah ku dengar saat di pertemuan singkat tersebut. Perlahan kedua mataku terbuka, pandanganku masih samar-samar karena begitu banyak air yang membendung di kelopak mata ini.

"Bangun! Kau tidak apa-apa?" tanyanya, setiap kali ia meluncurkan pertanyaan itu apalagi nada khawatir. Hati ini selalu saja merasakan api bergejolak. Api cinta yang berani.

Ketika penglihatanku kembali secara sempurna, bisa melihat kedua mata cokelat yang indah itu. Mata kami berdua saling beradu pandang satu sama lain, aku bisa melihat pemuda bertopeng itu lagi dan ia lagi-lagi menyelamatkanku dari marabahaya. Jantungku terus berdebar-debar tidak karuan setiap kali ia menatapku seperti ini.

Apakah untuk memanggil pemuda bertopeng ini harus di saat-saat bahaya banget? ---pikirku mulai mencari cara memanggil pemuda bertopeng.

  Pemuda itu menurunkan ku, aku bingung harus berkata apa selain ucapan terima kasih. Kata Mas Daniel,  pemuda itu malah mengatakan "kenapa tidak bilang terima kasih dan cium pipi?" Pemasukan Mas Daniel ini membuatku di landa kebingungan. Lalu di belakang asap hitam itu datang dan pemuda bertopeng menarikku ke suatu tempat yang bersembunyi.

  Aku melihat tangannya yang menarikku menjauh dari serangan asap hitam. Ia membawaku ke tempat sempit banget yang tidak ada satu orang pun di sana. Pandangan kami berdua melihat asap-asap hitam itu lalu muncul Yada yang mencari keberadaan kami berdua. Aku sesekali melihat pemuda bertopeng, salah satunya kedua matanya, karena aku masih ingat sekali bahwa matanya bisa berwarna kuning.

Ya, aku masih ingat itu. Setelah merasa aman ia mengajakku keluar dari tempat persembunyian. Kami berdua sedikit berlari dan tiba-tiba saja ada suara pistol terdengar jelas.

Dor!

Dor!

Dor!

Aku yang berada di belakang melotot melihat peluru-peluru itu menghantam aspal. Pemuda bertopeng menoleh ke belakang lalu menarik ku di dekapannya. Tiba-tiba saja penglihatanku menjadi kuning sama seperti waktu hari itu saat aku di kejar oleh beberapa anggota Black Hawk. Peluru tersebut melayang ke udara, lurus menerobos angin jika pemuda bertopeng tidak menarikku di dekapannya, mungkin aku akan terluka tembak atau lebih parahnya lagi.

Mati tertembak.

Lalu penglihatanku normal kembali dan peluru tersebut menjauh, kemana? Aku menjauhkan kepala dari dada bidangnya, pemuda bertopeng itu menoleh ke belakang.

Misteri dan Memori [SA] END✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang