👑 6 : Psikontlo 👑

31 11 5
                                    

Sementara itu, beberapa puluh meter di sana, terbukalah portal berwarna merah jambu.

"Kyaaa!"

Bruk!

Kiprang terpental sendiri dari portal buatan Dukuniwati tadi.

"Kamu kenapa, sih?" Dukuniwati menggelengkan kepala melihat tingkat anak muda di depan matanya.

Kiprang mencoba bangkit kembali dan mengatur napas. "Huft, di mana lagi ini?"

"Hutan Darkwood Forest," jawab Dukuniwati. "Agak pemborosan namanya tapi biarlah."

"Memang ada apa di sini?" tanya Kiprang.

"Ada Kakeru dan temanmu itu." Dukuniwati pun meneruskan langkah. "Mereka ada di sekitar sini."

"Kalian punya ikatan batin?" tanya Kiprang.

"Oho, tentu." Dukuniwati melanjutkan jalannya diiringi Kiprang yang tampak polos bagai anak ayam dan induknya.

"Kalian hidup berapa tahun lamanya? Setahu apa kamu tentang dunia ini?" tanya Kiprang. "OP kali kau kutengok."

"Aku seratus enam puluh," jawab sang dukun. "OverPower katamu?" Wanita itu tersenyum, tersanjung sendiri.

"Maksudnya punya sihir," jawab Kiprang, tidak mau dukun itu menjadi terlalu bangga yang malah jatuhnya narsis.

"Ah, itu bisa dipelajari turun menurun, tahu." Keluarlah sifat narsis Dukuniwati. "Aku mendapatkannya dari kedua orangtuaku."

Kiprang hanya mengiakan.

"Aku juga disekolahkan di sekolah sihir pertama di dunia ini, Magical Academy!" Dukuniwati berputar kecil seolah mengingat masa kecilnya nan bahagia sejahtera.

"Klise sekali namanya, kayanya akademi sihir amatiran," batin Kiprang. Tapi, dia biarkan Dukuniwati melanjutkan.

"Kemudian, setelah lulus dari Magical Academy, aku pun kuliah di Magistic Castle University atau bisa disingkat MCU," jelas Dukuniwati lagi.

"Ada skripsinya?"

"Perang sihir, sih." Dukuniwati kemudian meneruskan langkah dengan sedikit cepat. "Hei, aku merasakan aura Kakeru semakin kuat!"

Kiprang langsung berlari menyusulnya. "Tunggu!"

"Kakeru-san! Kakeru-san!" jerit Dukuniwati, sepertinya dia kangen dengan sahabatnya atau barangkali memang mau heboh sendiri.

Saat itu pula, terlihat kilatan cahaya dari jauh.

Kiprang menjerit. "Dukuniwati!"

Syaat!

Dukuniwati berhasil menangkis sebuah pisau daging hingga benda itu terpental dan menancap ke sebuah pohon berdahan hitam. Tangan Dukuniwati sudah berlapis lapisan berwarna cokelat keras berfungsi sebagai perisai.

Kiprang melongo. Dikiranya tangan wanita itu akan terbelah.

"Khihihi ...!"

Dukuniwati berdiri tegak. "Pecel!"

"Khihihi ...!"

Tawanya bikin merinding, fakta yang tertawa itu bukan Mba Kunti justru menambah kesan seram. Apalagi itu suara lelaki.

"Du ... Dukuniwati ..." Kiprang refleks menarik senternya kembali. Dia memegang erat senternya, gemetar sambil menelan ludah.

"Jangan takut, Anak Muda!" Dukuniwati membusungkan dada. "Itu hanyalah Pecel Psikontlo yang pasti kerjaannya lebih gabut dibandingkan author cerita yang isinya hanya pembantaian para karakter tanpa fungsi penting bagi ceritanya."

Tujuh Pecel, Pembawa Senter, dan Seekor GuritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang