Prolog | After 3 Years

75K 3.1K 55
                                    

Attention :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Attention :

Bagi pembaca baru harap membaca So I Married A Famous terlebih dahulu karena ini adalah sequel atau lanjutan.
Dan bagi pembaca lama terima kasih karena sudah mengikuti perjalanan cinta Kavi dan Relin.

Enjoy the story 🍻

—sharput

|•|

Relin terduduk di closet sambil menatap sayu ke arah testpack strip di tangannya yang menampilkan satu garis dengan perasaan kecewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Relin terduduk di closet sambil menatap sayu ke arah testpack strip di tangannya yang menampilkan satu garis dengan perasaan kecewa. Jadi penyebab rasa mual dan tidak enak badannya beberapa hari terakhir ini bukan karena ia sedang hamil?

Menyadari hal itu Relin lantas menghela napas sambil memijit dahi. Entah untuk kesekian kalinya ia harus menelan kekecewaan saat melihat hasil testpack tersebut.

Relin menggigit bibir bawahnya keras. Mengapa setelah tiga tahun menikah ia masih belum kunjung hamil juga? Sebenarnya apa yang salah dari dirinya sampai Tuhan belum juga mau menitipkan seorang anak di rahimnya?

Tanpa sadar air mata mulai mengalir di kedua pipinya. Entah untuk kesekian kalinya Relin dibuat menangis karena hal ini. Dia tidak bisa untuk tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia benar-benar merasa gagal.

Bunyi ketukan pintu dari luar kamar mandi membuat Relin lantas tersentak.

"Sayang, kamu udah setengah jam lebih lho di kamar mandi? Kamu kenapa?" tanya Kavi—sang suami dengan nada khawatir. Dia tak henti hentinya mengetuk pintu dan meminta Relin agar segera keluar.

Relin buru-buru menghapus air matanya. Tangannya bergetar saat menyimpan testpack itu di dalam saku. Sebelum keluar, dia menyempatkan diri untuk membasuh wajahnya di wastafel.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Kavi saat melihat Relin keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat serta mata sembab dan hidung memerah. "Sakit?" lanjutnya sambil menangkup kedua pipi Relin. Telapak tangan pria itu kini mulai menyusuri dahi Relin untuk men-check suhu badannya.

Relin menggeleng, tak berani menatap wajah suaminya itu yang kelihatan sangat khawatir dengan keadaannya.

"Gak papa, Mas."

"Kamu keliatan pucat. Kita ke Dokter ya?"

Lagi-lagi Relin menggeleng. Dia pikir awalnya rasa mual dan tidak enak badannya ini mungkin adalah karena ia hamil. Tapi sayangnya lagi-lagi wanita itu harus menelan kekecewaan saat melihat hasil testpack tersebut.

"Cuma gak enak badan kok, Mas. Istirahat sebentar juga paling sembuh."

"Hari ini kamu gak usah masak ya. Nanti kita pesan makanan dari luar aja. Sekarang kamu istirahat," pinta Kavi yang langsung diangguki oleh Relin.

Kavi sudah akan mengantar Relin ke tempat tidur saat tiba-tiba ia melihat sesuatu terjatuh dari saku wanita itu.

"Ini apa, sayang?" Tanpa pikir panjang Kavi lantas berjongkok dan mengambilnya. Membuat Relin yang baru menyadarinya lantas melebarkan mata dan segera merogoh saku celananya untuk memastikan kalau benda itu masih ada di dalam sakunya.

Tapi sayangnya tidak ada apa-apa di sana.

Kavi menatap benda yang sudah tak asing olehnya itu dengan mata tak berkedip. Sontak ia langsung menatap sang istri saat menyadari kalau di sana hanya ada satu garis saja.

"Maaf, Mas," lirih Relin dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Dia selalu tak sanggup jika harus memberitahu Kavi jika hasilnya masih saja negatif, maka dari itu Relin selalu mencoba untuk menyembunyikannya selagi mendapat kabar baik. Dia pikir jika hasilnya negatif, itu pasti akan sangat mengecewakan. Makanya ia memilih untuk menanggungnya sendiri.

"Bukan salah kamu." Kavi berujar sambil membawa tubuh Relin ke dalam pelukannya. Mencoba untuk menenangkan sang istri yang tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu. "Its okay, sayang. Mungkin masih belum rezeki," lanjutnya menenangkan. Dia tak menyangka kalau Relin akan mencobanya lagi tanpa sepengetahuannya.

"Akhir-akhir ini aku ngerasa mual dan gak enak badan. Aku pikir mungkin karena aku hamil tapi..." Relin berusaha untuk tidak menangis di depan Kavi. Tapi, nyatanya benar-benar sangat sulit sekali. "Ini salahku."

Kavi mengusap punggung Relin yang bergetar. "Pasti akan ada saatnya bagi kita untuk punya anak," ujar pria itu. "Kamu gak seharusnya menyalahkan diri sendiri. Sejauh ini kita udah berusaha semampu kita. Ini bukan salah kamu, sayang."

Relin yang tadinya menunduk kini dibuat menengadahkan kepala saat Kavi tiba-tiba menangkup kedua pipinya seolah memaksa untuk membalas tatapan yang ia berikan.

"Kita masih punya waktu," ucap Kavi.

"Tapi mau sampai kapan?" balas Relin dengan mata yang mengabur akibat air mata. "Mas dan Relin mungkin masih bisa menunggu. Tapi, bagaimana dengan keluarga kita? Bagaimana dengan Oma yang terus menanyakan hal yang sama di setiap pertemuan?"

Kavi tampak menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. "Mereka pasti akan mengerti, sayang. Kita sama sekali gak ada maksud untuk menunda. Memang hanya belum diberi kepercayaan. Semua akan baik-baik saja."

Lagi-lagi Kavi memeluk Relin erat. Pikirannya jelas sama kalutnya dengan wanita itu. Tapi dia tak ingin menampakkannya dan membuat sang istri semakin khawatir. Dia yakin mereka pasti akan segera memiliki anak. Ini hanya masalah waktu.

"Sekarang kamu istirahat ya. Jangan terlalu banyak pikiran."

Kavi melepas pelukan seraya menuntun Relin menuju tempat tidur. Dengan begitu cekatan ia merebahkan kepala istrinya itu di atas bantal sebelum akhirnya menarik selimut hingga menyelimuti tubuhnya sebatas dada.

"Kamu pasti kecapekan karena harus mengurus dua hal dalam satu waktu. Sebentar ya Mas carikan obatnya dulu."

Pria itu sudah akan beranjak dari tempat tidur saat Relin tiba-tiba menahan lengannya.

"Mas, apa Relin ini istri yang gagal?" tanyanya tiba-tiba sambil menggigit bibir bawah keras.

Kavi sontak terdiam mendengarnya. Manik mata pria itu kini tampak menatap lekat ke arah Relin yang kelihatan sangat menunggu jawaban yang akan ia berikan sebelum akhirnya sedikit membungkukkan badan agar bisa mencium kening wanita itu.

"Kamu gak pernah gagal," ujar Kavi usai mengecup kening Relin lama. "Kamu selalu jadi istri yang terbaik."

Mendengar hal itu bukannya tenang, Relin malah semakin larut dalam rasa bersalahnya. Dia juga tak mengerti kenapa ia bisa sampai sebegitunya menyalahkan dirinya sendiri.

Relin hanya berharap apapun yang terjadi suaminya itu akan selalu bersama dengannya, memegang tangannya dan berlari bersama menuju garis finish yang menjadi akhir dari kehidupan mereka.

|•|



author note :
21.11.2021 bisa dibilang tanggal yang cantik untuk mengupdate sebuah sequel. Fyi, ini adalah cerita keduaku setelah sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2021 aku menulis So I Married A Famous Actor? Doakan semoga idenya bisa tetap lancar ya. Sampai ketemu lagiii <333

When I Become A Wife [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang