30) Mengaku

28.4K 2.4K 156
                                    

Menatap bosan layar laptop yang masih memutar drama Korea kesukannya, Relin lantas bangkit dari tempat tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menatap bosan layar laptop yang masih memutar drama Korea kesukannya, Relin lantas bangkit dari tempat tidur. Entah kenapa beberapa hari ini ia merasa tidak enak badan. Masalah yang terjadi antara ia dan Kavi membuat Relin jadi tak berselera untuk makan. Dan gara-gara jadwal makan yang tidak teratur itu pula-lah ia jadi sering merasakan mual dan juga pusing. Mami bilang itu mungkin karena asam lambungnya yang naik.

Relin menuruni anak tangga saat merasakan perutnya mulai keroncongan. Dia lapar dan ingin mencari sesuatu yang sekiranya bisa mengganjal perut. Enaknya tinggal di rumah orang tua adalah ia jadi tak perlu lagi memusingkan masak apa untuk hari ini. Karena semuanya sudah tersedia bahkan saat ia baru saja membuka mata. Entah kenapa selama berada di sini jiwa pemalas Relin semakin menjadi-jadi.

Membuka lemari yang sudah dipenuhi makanan nyatanya tak membuat Relin berselera. Ayolah, padahal menu hari ini ada tempe orek dan bebek goreng kesukaannya. Tapi kenapa Relin malah tidak berselera. Segera ia berjalan menuju dapur untuk mengambil air. Sudah seminggu Relin di sini dan dia masih saja memikirkan apakah suaminya makan dengan baik selama dia tak ada. Tapi anehnya setelah kejadian waktu itu Kavi tak pernah lagi datang ke mari. Apa semudah itu bagi pria itu untuk menyerah? Apa dia tidak ingin berjuang untuk Relin? Menyebalkan!

Telpon yang berdering membuat Relin sontak merogoh saku. Ternyata ada telpon berasal dari Abangnya—Reinald.

"Halo, Dek? Kata Mami kamu lagi di rumah ya?"

Relin memutar mata. "Iya, kenapa?"

"Tolong titip Abel bentar ya soalnya Abang sama Syahza mau antar Kenzi ke dokter gigi."

Relin sontak melebarkan mata. "Dih, gak ada titip-titipan Emangnya ini tempat penitipan anak?" ujarnya sewot.

"Gitu amat jawabnya? Lagi PMS ya? Atau jangan-jangan lagi kangen ayang," godanya. "Gini nih kalau orang bucin sekalinya berantem."

Decakan sebal lolos begitu saja dari mulut Relin. Dia tidak bucin! Buktinya seminggu ini ia bisa menahan diri untuk tidak menghubungi suaminya itu. "Bucin kok teriak bucin. Kalau mau nitip yaudah sini."

"Nah gitu dong. Itu baru namanya adek kesayangan Abang."

Mendengar hal itu perut Relin lantas semakin mual. Cara Reinald bicara padanya memang tak pernah berubah sejak dulu. "Sekalian aku mau nitip sesuatu."

"Nitip apa?" tanya Reinald.

"Seblak," jawabnya membuat sang Abang lantas melongo.

"Pagi-pagi gini makan seblak?" tanyanya tak habis pikir. "Sinting!"

"Emang kenapa sih? Kan aku yang makan!" seru Relin. Entah kenapa dia ingin sekali memakan sesuatu yang pedas dan berkuah hari ini.

"Gak boleh! Nanti kamu sakit perut. Abang beliin bubur aja ya?" ucap Reinald sudah seperti membujuk anak kecil.

Mendengar nama bubur membuat nafsu makan Relin semakin menghilang. "Orang maunya seblak malah dikasih bubur," gerutunya.

"Habisnya aneh banget pagi-pagi gini minta seblak. Sejak kapan coba kamu suka makan begituan? Dulu aja pas Mbak Indah beli kamu gak doyan," lanjutnya mengingatkan. Ya dulu Mbak Indah—asisten rumah tangga mereka—memang dikenal maniak seblak. Biasanya sehabis belanja di pasar dia pasti rutin membawa satu porsi seblak. Dulu Relin memang sempat ditawari untuk mencoba, tapi entah kenapa dia tak terlalu suka karena cita rasanya yang amat pedas. Tapi pengecualian untuk hari ini karena dia benar-benar ingin mencobanya lagi.

When I Become A Wife [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang