45. PERPISAHAN

12.9K 1K 78
                                    


Ella sampai di taman belakang sekolah yang terlihat sepi, dengan napas yang tersenggal-senggal. Seketika senyum manis mulai terlihat terbit di bibir manisnya, karena melihat seseorang yang sedang dicarinya, sedang duduk membelakanginya.

"Akhirnya," ucapnya dengan menghela napas lega. Ella berjalan untuk mendekat ke arah Morgan yang terlihat duduk termenung dengan pandangan yang terlihat kosong.

"Gan," panggilnya. Namun tidak mendapatkan reaksi apapun dari Morgan. Bahkan meliriknya saja enggan.

"Aku ingin menjelaskan semua kesalah pahaman ini. Apa yang kamu lihat dan dengar itu semua gak bener. Kamu salah paham. Aku gak ingin kesalah pahaman ini, bakalan ngebuat hubungan kita makin renggang." Ella terus berbicara tapi Morgan masih tetap diam.

"Morgan plis, kamu dengerin aku!" pinta Ella sembari memohon dengan memegang kedua tangan Morgan yang digenggamnya erat. Morgan pun hanya diam, tidak menolak apa yang dilakukan oleh Ella terhadapnya.

"Sekali aja, aku mohon ini yang terakhir," pinta Ella dengan mata yang sudah terlihat memerah, menahan tangis karena kini dirinya merasa sudah diabaikan oleh seseorang yang dicintainya.

"Kamu benar, ini bakal jadi yang terakhir kalinya. Karna tidak akan ada kesalah pahaman lagi diantara kita," ucap Morgan yang membuat Ella kembali menyungingkan senyum tipisnya, sebelum senyum itu kembali lenyap saat mendengar ucapan Morgan berikutnya.

"Kita memulai semuanya di sini, di taman ini, Mari kita akhiri juga semuanya di taman ini," ujar Morgan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ella termanggu mendengarnya.

"Ma-maksud kamu apa?" tanya Ella bersamaan dengan air mata yang menetes di pelupuk matanya.

"Kita akhiri hubungan ini," kata Morgan dengan wajah yang tetap datar.

"Gan pliss, dengerin penjelasan aku dulu sebelum kamu mutusin ini semua. Ingat, hubungan ini gak hanya kamu aja yang jalanin, tapi aku juga. Kamu gak bisa mutusin hubungan ini sepihak saja. Aku juga berhak menolak keputusan kamu, karna hubungan ini antara aku dan kamu."

"Apa lagi yang ingin kamu jelasin? Bukannya semua sudah terlihat begitu jelas," ujar Morgan melihat Ella dengan tatapan kecewanya.

"A-aku bukan Ella," ucap Ella yang disambut dengan suara kekehan dari Morgan.

"Sekarang lo mau pakek drama apa lagi? Lo bener-bener udah berubah El. Gue gak nyangka, bahwa orang yang selama ini gue sayang, ngelakuin hal rendah seperti ini. Bahkan tidak mau mengakui dirinya sendiri."

"MORGAN!" teriak Ella dengan tatapan tak percaya bahwa Morgan berkata seperti itu kepadanya. Bahkan Morgan sudah mengganti kata aku-kamu menjadi lo-gue.
Morgan hanya menunjukan senyum miringnya mendengar bentakan dari Ella.

"Jaga diri lo baik-baik, walau gue tahu kalau lo bakal baik-baik aja, meski tanpa adanya gue," tutur Morgan dengan senyum manisnya, kemudian berlalu meninggalkan Ella yang mematung di tempatnya, sembari melihat punggung kokoh lelaki yang selama ini dicintainya semakin menjauh dari jangkauannya.

Bersamaan dengan tak terlihatnya lagi punggung kokoh tersebut, tangis Ella pun seketika pecah.

Tuhan apa perpisahan memang selalu semenyakitkan ini atau mungkin memang perpisahan adalah cara agar kita saling menemukan jalan meski kita tak lagi sejalan.

Memang benar, hubungan tidak akan bertahan lama jika tidak ada rasa saling percaya. Karna terlalu kecewa, kadang kita melakukan hal yang salah, dengan hilangnya rasa saling percaya.

Morgan meninggalkan Ella dengan susah payah menahan tangisnya, akhirnya Morgan mengakhiri semua dengan cara berusaha menunjukan senyum manisnya.

Memang benar kata orang, bahwa senyuman adalah cara terbaik untuk menyembunyikan luka. Orang yang tersenyum belum tentu bahagia dan orang yang selalu terlihat bahagia belum tentu tak menyimpan luka.

Morgan mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata demi untuk menyalurkan rasa sesak yang menghimpit dada.

Bersembunyi dari keramaian ibu kota untuk menenangkan hatinya. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri. Bersembunyi untuk menyembunyikan tangisnya.  Dia hanya tak ingin orang memandangnya lemah. Memang seperti itulah kebanyakan pria, lebih memilih bersembunyi dari tangisnya dari pada harus berusaha menunjukkannya.

"Gimana? Udah selesai kan permasalahan lo dengan Ella?" tanya Gerald yang baru saja melihat kedatangan Morgan di Markas Black Carlos. Memang Morgan memutuskan pergi ke Markas setelah puas berada di tempat persembunyiannya, sebuah Bukit yang berada tak jauh dari rumahnya.

"Udah," jawab Morgan cuek, membuat Gerald mengernyitkan keningnya.

"Kalo udah, kenapa muka lo kok kayak orang gak punya semangat hidup gitu. Harusnya kan lo seneng?" tanya Gerald yang mendapat balasan kedikan bahu Morgan.

"Udah selesai." Perkataan Morgan tersebut membuat gerakan tangan Gerald pada ponselnya terhenti.

"Bagus dong."

"Haha, iya, memang sangat bagus dramaku kali ini."

"Maksud lo?"

"Gue udah selesai sama Ella." Mendengar hal tersebut membuat Gerald terdiam.

"Kok tiba-tiba gitu sih? Bukannya lo tadi mau baikan ya?" tanya Gerald dengan raut wajah penasaran. Namun lagi-lagi ditanggapi kedikan bahu oleh Morgan membuat, Gerald menghela napas kasar.

"Tahu deh, gue ikutan pusing mikirin lo."

"Gak ada yang minta lo buat mikirin gue!" seru Morgan.

"Terserah deh, terserah, hayati lelah Bang," ucap Gerald membuat Morgan mendengus tak suka.

"Lebay, mana yang lain?" tanya Morgan seraya merebahkan tubuhnya di atas sofa.

"Ada, nobar, di atas," jawab Gerald yang tak mendapatkan jawaban dari Morgan.

Jangan ditanya bagaimana sekarang kondisi Ella. Dirinya hancur, lebih hancur dari pada sebelumnya.

Ella duduk termenung dibbalkon kamarnya. Mata bengkak dan juga suara parau adalah bukti bahwa dirinya memang sedang terluka. Suara dering ponsel sedari tadi telah diabaikannya, namun didering berikutnya, Ella mulai menerima panggilan tersebut saat tahu siapa orang yang sudah menghubunginya.

"Halo, ya ampun Sya lo ke mana sih? Gue telponin juga dari tadi, kenapa gak lo angkat sih! Gue ada informasi penting buat lo. Kakak lo udah panik dari tadi juga nelponin lo mulu, tapi gak lo angkat, kenapa sih?" cecar seseorang di sebrang sana.

"Gue gapapa," ucapnya dengan suara parau membuat orang itu terdiam seketika mendengar suara Ella.

"Sya lo yakin? lo baik-baik aja kan? Suara lo kok kayak orang lagi nangis gitu sih?"

"Gue gapapa. Lo tenang aja. Ada apa hubungi gue?"

"Gue dan Kakak lo beserta beberapa anggota Hell Angel, sekarang mau berangkat ke Bandung. Mungkin kami beberapa hari ini bakal nginep di sana. Sekaligus buat refreshing setelah sibuk bekerja."

"Ada apa? Gue yakin alasan ke Bandung bukan hanya untuk Refreshing aja kan?"

"Tristan udah bergerak buat nyusun rencana nyakitin lo. karna lo udah ngebuat beberapa anggotanya kehilangan nyawa. Jdi dia bergerak lebih cepat. Kita di sini bakal berusaha buat melindungi lo dari Tristan. Selain ngelindungi lo dari Tristan, Kakak lo juga ke sini buat bikin perhitungan kepada Tristan. Nanti coba lo hubungin Kak Aldo, sedari tadi dia mikirin lo mulu," ucap Linda yang tak lain adalah sahabat lama Tasya.

"Kalian gak perlu terlalu khawatir. Gue di sini bisa jaga diri. Bilangin sama Kak Aldo, gue baik-baik aja. Yaudah gue mau istirahat dulu. Next time gue bakal temuin kalian langsung. Bye-bye."

"Bye."

Tut.

Setelah panggilan itu terputus, Ella kembali mengadahkan kepalanya ke langit yang gelap, dalam kegelapan yang hanya dihiasi cahaya bulan.

Ella mulai masuk kedalam kamarnya. Membuka handycam yang terlihat di atas meja belajarnya.

Pagi ini Ella pergi ke sekolah dengan aura yang semakin dingin. Tak ada lagi air mata yang mengalir di pipinya. Apalagi saat mendengar nama Tristan kembali disebut untuk memporak porandakan kembali hidupnya. Cukup sekali dirinya kehilangan nyawa karna Tristan. Dirinya tidak lagi ingin kehilangan nyawa untuk yang kedua kalinya. Cukup dahulu dirinya terpedaya karna cinta, sekarang Ella tidak ingin mengulang lagi kesalahan yang sama.

Berjalan melewati koridor, Ella tidak menghiraukan orang-orang yang tengah membicarakannya.

Dimulai dari kedatangannya, hingga jam pelajaran terakhir, Ella tetap tidur menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangan di atas meja. Tak ada satupun orang yang berani menegurnya. Luna pun memberi alasan bahwa Ella sedang sakit, jika ada guru yang bertanya kepadanya.

Saat suasana hening dari dalam kelas, terdengar suara keributan dari luar hingga membuat murid yang berada di dalam kelas ikut panik seketika.

"SEKOLAH KITA DISERANG LAGI, SEMBUNYI-SEMBUNYI."

"JANGAN ADA YANG KELUAR."

"TENANG-TENANG JANGAN ADA YANG PANIK. JANGAN PADA LARI-LARI, SEMUA TENANG, MASUK KE KELAS MASING-MASING!" teriak Rendy membuat temannya menggeplak kepalanya, Rendy pun mengaduh kesakitan.

"EH OGEB, YANG DARI TADI PANIK ITU LO. YANG LARI-LARIAN DARI TADI JUGA LO. LO BUKANNYA BIKIN ORANG TENANG, MALAH BIKIN SUASANA TAMBAH SEMAKIN RUNYAM," tegur Gendy membuat Rendy meringis, sembari mengusap kepalanya yang terasa sakit.

"Diam! semua tenang, jangan ada yang panik, juga jangan ada yang keluar dari kelas," pinta Pak Bram yang kebetulan lagi mengajar di kelas. Kegaduhan itu tak urung membuat Ella terbangun dari tidur nyenyaknya.

Mendengar suara berisik, Ella pun terbangun sembari bertanya kepada Luna. "Ada apa sih?"

"Sekolah kita diserang lagi. Duh gimana ini! Gang Black Carlos juga udh kumpul buat ngelindungi kita, tapi kata anak-anak tadi melihat jumlah penyerang yang sangat banyak, gue gak yakin kalau gang Black Carlos bisa ngatasin ini semua," tutur Luna dengan sedikit khawatir, sembari melihat luar dari arah jendela. Luna terlihat begitu khawatir, takut jika mereka berhasil menerobos masuk gerbang sekolah.

Mendengar ucapan Luna sontak membuat Ella berdiri dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya keluar. Namun belum sempat keluar, Luna sudah lebih dulu memegang tangannya.

"Lo mau ke mana El?" tanya Luna.

"Keluar," jawab Ella.

"Ngapain lo keluar, gue kan udah bilang, di luar ada Tawuran."

"Lo tenang aja, Ok!" ucap Ella kemudian berlalu meninggalkan Luna. Saat di depan pintu seseorang kembali menghentikan langkahnya.

"El mau ke mana, kamu gak denger yang bapak omongin, jangan ada yang keluar kelas. Keadaan di luar sangat berbahaya," tegas pak Bram

"Bapak tenang aja, Ok!" ucap Ella tetap keluar dari kelasnya tanpa mendengarkan ucapan-ucapan yang mencoba untuk menahannya, termasuk pak Bram yang terus meneriaki namanya.

****BERSAMBUNG****

TRANSMIGRATION QUEEN RACING [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang