[8] BUKAN ABU DARDA'

3.2K 319 7
                                    

Kamu mungkin saja berusaha menjadi Salman Al-Farisi untukku. Sayangnya, yang kamu titipi amanah bukanlah Abu Darda' untukku.

—Maira Salsabilla Gunandhi

[DIARY AIRA]



Setelah keributan semalam, subuh tadi akhirnya Fauzan pulang. Tapi tak lama setelahnya laki-laki itu kembali pergi. Selalu saja seperti ini. Aira juga tak henti untuk terus mencoba mendekati Fauzan, berharap laki-laki akan luluh.

Setiap hari pun Aira menyiapkan makanan untuk Fauzan, tapi tak sekalipun makanan yang dibuatnya dilirik suaminya. Aira mendesah panjang, lagi-lagi makanan ini akan ia bagikan pada orang-orang yang ia temui di jalan, dari pada mubadzir to.

Hari ini umi diperbolehkan pulang. Kondisinya sudah cukup membaik pasca dirawat inap hampir dua minggu lamanya. Tidak banyak yang bisa Aira lakukan, sebab ketika Aira datang, semua perlengkapan umi sudah dibereskan oleh si kembar.

“Dimana Fauzan nak?” tanya umi, menatap lembut kearah Aira.

Aira gelagapan mendapati pertanyaan dari ibu mertuanya. Ia sendiri bingung harus mengatakan apa. Fauzan tak pernah sekalipun mengatakan pada Aira dia akan kemana. Pergi ya tinggal pergi, seolah laki-laki itu masih bujang.

Belum sampai Aira menjawab, Umi Siti kembali melayangkan tanya pada Aira sambil memegang kedua tangan gadis itu, “Tanganmu kenapa?”

Aira hanya menggeleng, Umi Siti yang memahami hal tersebut menatap sendu ke arah Aira.

“Maafkan Umi ya nak, pasti kamu tidak bahagia ya menikah dengan putra Umi?”

Aira menggeleng, “Bukan karena itu umi. Kemarin Aira nga sengaja numpahin air mendidih. Jadi melepuh deh” bohongnya diakhiri dengan kekehan ringan.

“Abang juga tu Umi. Masak pengantin baru ditinggal-tinggal. Kan kasian mba Aira” cletuk Lia

“Mas Fauzan kan ada urusan Lia” bagaimanapun Aira harus menutupi permasalahannya dengan Fauzan. Dia tidak ingin membuat orang sekitarnya kepikiran. Terlebih ibu mertuanya.

“Mas?” ulang umi siti dengan nada jenaka

Aira tersipu malu dengan godaan ibu mertuanya itu, “Ah, anu itu mi, mmm”

Gelak tawa wanita paruh baya itu menguar, mendapati sikap salah tingkah sang menantu. “Ngak papa Ra, wajar. Panggilan yang bagus untuk Fauzan”

Aira hanya mampu tersenyum menanggapi ibu mertuanya. Pintu ruangan didorong, menampakkan ayah mertuanya masuk. Akhirnya mereka bergegas meninggalkan ruangan karena semua keperluan yang perlu diururs telah terselesaikan.

Selama perjalanan, Umi Siti tak henti-hentinya menceritakan tentang Fauzan. Mungkin maksudnya adalah membuat Aira memgerti bagaimana Fauzan itu. Aira bersyukur، tanpa diminta ternyata umi dengan sukarela mendiskripsikan suaminya. Hal tersebut tentu akan membuat Aira lebih mudah mengambil hati Fauzan bukan?, Yah, entahlah.

******

Setiap orang selalu menginginkan kehidupan rumah tangganya bahagia. Membina masa depan bersama orang terkasihnya. Bergandengan tangan, bersama-sama meraih surga-Nya. Saling mengingatkan dan menerima kelebihan serta kekurangan pasangannya.

DIARY AIRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang