[32] BALASAN

4.2K 385 51
                                    

Jika tidak bisa mendidiknya, kembalikan dia pada kami. Jangan kau permainkan hatinya, adikku bukan boneka”.

(Raihan Khalif Akbar)



Boleh ramein kolom komentar nya?

•••√√√•••

“Aira masih belum sadar Yah. Do'akan saja yang terbaik”

Terdengar helaan nafas berat dari sebrang sana, “Ayah, Bunda dan Istrimu jam 2 nanti terbang ke Medan. Jagain adikmu ya”

“Yah, tap—”

“Istrimu aman. Bunda tidak mungkin bisa dicegah Raihan”

Kini gantian Raihan yang menghela nafas berat. Tanganya mengepal erat melihat seseorang yang datang dari lorong rumah sakit.

“Nanti Raihan hubungi lagi Yah”

Setelah mengucapkan salam dan menutup saluran telepon, Raihan memasukkan benda pipih tersebut kedalam saku baju lorengnya. Yah, Raihan belum mengganti seragamnya sedari ia datang ke Medan. Melihat kekacauan yang dialami adiknya membuat ia mengabaikan sekitarnya.

Fauzan yang hendak menuju ke ruangan Aira dihadang oleh Raihan. “Mau kemana lo?”

Fauzan mengangkat kepalanya menatap kakak iparnya. “Fauzan mau liat Aira bang”

Raihan tertawa sumbang, laki-laki itu bersedekap dada sambil menatap tajam Fauzan. “Ngak!”

“Bang, Fauzan mau jagain Aira. To—”

“Jagain lo bilang? Setelah adek gue hampir sekarat kayak didalam, lo baru mau jagain?!” suara Raihan menggema

“Affwan bang”

“Seandainya bukan karena menghormati Abuya dan Ummah” Raihan menjeda kalimatnya, “Lo udah gue bikin bonyok dari tadi Zan”

Tidak ada jawaban dari Fauzan, laki-laki yang berstatus sebagai suami dari Aira membenarkan kalimat Raihan dalam hati. Sebagai seorang kakak, adalah hal yang wajar untuk Raihan memberi pelajaran pada Fauzan.

Raihan memilih duduk di kursi tanpa mengatakan apapun. Fauzan mengikuti. Lama hening, akhirnya Raihan memilih mengalah dengan membuka pembicaraan terlebih dahulu.

“Aira adalah adik yang paling abang sayang Zan. Kalau emang Lo ngak ada niat buat bimbing dia dari awal, ngapain lo nikahain. Kalau dia ngak nurut sama lo, bangkang sama lo, balikin dia ke gue. Bukan malah kayak gini”

“Bukan seperti itu bang, demi Allah” kilah Fauzan

“Ummah mu sudah menceritakan semuanya ke Abang Zan. Abang rasa, ketika Aira tahu semuanya nanti” Raihan memijit pangkal hidungnya sambil menyenderkan kepalanya kepada sandaran kursi, semuanya terasa begitu rumit sekarang. “Aira berhak menutuskan pilihanya, dan kamu” kini atensi Raihan dialihkan penuh kearah Fauzan “Tidak berhak lagi menolaknya”

“Bang—”

“Abuya, Ummah dan juga Abang kamu mungkin bisa menerimanya. Kamu perlu tau, kelurga kami berhak menolaknya Fauzan” bicara Raihan sudah berubah, emosinya sudah kembali stabil dengan tidak menggunakan kosa kata lo-gue.

Raihan bangkit, “Saya kasih kamu kesempatan terakhir untuk menjaga adik saya. Sekali kamu lalai dan kembali menyakitinya. Tidak ada ampun untukmu. Ummah sama Umi mu ada didalam”

Raihan ingin egois untuk memisahkan Fauzan dengan Aira. Sayangnya ia tidak bisa, rasa egoisnya kalah dengan rasa sayangnya terhadap adik semata wayangnya. Ia paham betul bagaimana Aira sangat menghormati dan mencintai Fauzan sebagai seorang suami.

DIARY AIRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang