“Rumi mengatakan, bahwa Kesabaran itu bermahkotakan keimanan. Aku bersabar sebab tak ingin kehilangan iman”. —Aira
[DIARY AIRA]
Fauzan benar-benar menepati ucapanya. Keduanya saling membuka diri untuk sama-sama mengenal lebih jauh. Hanya saja, disini Aira yang lebih aktif. Gadis 22 tahun itu benar-benar memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya. Ia tidak tahu kapan lagi Allah akan memberinya kesempatan untuk bisa berbakti dengan suaminya, terlebih ia sudah diberi lampu hijau.
Lain hal dengan Fauzan, laki-laki itu sedikit banyak kesulitan untuk bagaimana memulainya. Dia hanya akan menjawab pertanyaan yang diajukan Aira tentang nya, selebihnya ia tidak pernah balik bertanya.
Fauzan lebih suka mengamati dibanding banyak bertanya.
Seperti saat ini, saat ia pulang dari masjid, ia melihat Aira tengah duduk diatas sajadah sambil memangku Al-Qur'an. Fauzan baru sadar, ternyata istrinya begitu Fasih membaca Al-Qur'an.“Mas, kok ngak masuk?” Fauzan tersentak dari lamunannya, dia berharap Aira tidak sadar kalau tadi ia tengah diperhatikan
Tanpa menjawab pertanyaan Aira Fauzan melangkahkan kakinya kemudian meletakkan sajadahnya dihanger dan menggantungkannya didalam almari.
Aira terus memperhatikan pergerakan Fauzan, laki-laki itu dengan santainya melepas baju koko miliknya. Bodohnya Fauzan lupa, luka cambukan beberapa waktu lalu masih membekas meski tak separah sebelumnya.
Aira tidak menjerit seperti gadis pada umumnya, netranya justru tertuju pada punggung lebar suaminya yang terluka. Tangan Fauzan nampak meraih sebuah kaus hitam yang tersusun rapi sesuai warnanya dengan sedikit tergesa dan memakai nya secepat kilat. Fauzan membalikkan badan, mata elangnya langsung bersitatap dengan Aira yang tengah memandangnya.
“Punggung kamu kenapa mas?” tanyanya serak
“Ngak papa!”
Aira menampilkan senyum kecutnya. Senyum yang nampak sangat aneh dimata Fauzan. Aira bangkit dan melepaskan mukenanya. Mukena tersebut ia gantung dan dimasukkan kedalam almari persis seperti yang dilakukan Fauzan.
Begitu selesai ia keluar dari kamar meninggalkan Fauzan tanpa sepatah katapun. Fauzan yang ditinggalkan dengan keadaan demikian merasa ada yang hilang dari dirinya.
Fauzan enggan menceritakan, tapi ia mendapati rasa bersalah melihat perubahan Aira padanya kali ini. Laki-laki itu hanya bisa bermonolog dengan dirinya sendiri karena sikap Aira.
Ada perasaan ingin mengejar dan menjelaskannya pada Aira. Sayangnya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka laptopnya terlebih dahulu.
****
Aira tengah menyiapkan masakan yang telah selesai ia masak. Sudah menjadi kebiasaan rutinnya melakukan hal ini setelah menikah. Meski bukan seperti pasangan kebanyakan, gadis itu tetap melakukan pekerjaannya dengan baik.
Seseorang mengucapkan salam dan dijawab Aira tanpa menoleh pada yang bersangkutan. Entahlah, sejak kejadian subuh tadi Aira jadi merasa percuma. Percuma berjuang terlalu keras, tapi yang diperjuangkan enggan untuk diperjuangkan.
“Kamu marah sama saya?” laki-laki itu bertanya dengan menumpukan tanganya diatas meja paling sudut.
Tidak ada jawaban dari Aira. Bibirnya masih kelu untuk sekedar menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY AIRA [TERBIT]
Spiritual[PART MASIH LENGKAP, SILAKAN SEGERA BACA] 18+ disini maksudnya adalah, cerita yang ditulis mengandung bahasa kasar dan adegan kekerasan, hanya untuk menunjang karakter tokoh. Tidak untuk ditiru!. [Follow sebelum membaca] ========= Menikah dengan ses...