Bantu suport cerita ini untuk tembus 100k viewers ya teman-teman.
•••√√√•••
"Razita, kamu lihat Rifa?" Aira masuk kerumah produksi dengan terburu-buru, nafasnya bahkan masih terengah-engah karena berlari.
"Mbak Rifa selama mbak Aira pulang ngak pernah kesini, mbak" Razita yang baru saja membuat coklat panas menghampiri Aira yang kini duduk bersandar disalah satu sofa.
Razita meletakkan salah satu cangkir yang ia bawa dihadapan Aira, "Ada apa mbak?"
Aira masih memijit pelipisnya yang berdenyut. Fakta yang terbongkar membuat dadanya semakin nyeri.
"Ada masalah mbak?" Razita masih terus berusaha bertanya untuk mendapatkan informasi
"Ayo ikut mbak, Ta"
Aira bangkit menuju ruangan dimana biasa Rifa tempati. Gadis itu menyalakan komputer dimeja kerja Rifa dan mengeluarkan map coklat dari dalam tas nya.
"Kamu paham sekarang?" tanya Aira, Razita hanya bisa mengangguk sambil menatap tak percaya pada Aira.
"Mbak, tapi kenapa bisa begini? Maksud Razita, kenapa harus mbak Rifa?"
Aira hanya bisa tersenyum simpul, dihadapkan pada kenyataan yang mematahkannya. Waktu Johan menelfonnya beberapa saat lalu, Aira bahkan menolak fakta yang ada. Setelah semua bukti dihadapkan, barulah Aira mempercayainya dengan berat hati.
"Sabar ya mbak Ai"
Razita memeluk erat Aira, berusaha memberikan kekuatan. Razita dan Rifa adalah irang kepercayaan Aira, tapi kini Aira dibuat patah oleh kenyataan yang dihadapkan pada dirinya.
"Masalah keuangan, kemarin sudah selesai mbak. Pak Nando kemarin mengembalikan kunci gudang dan pabrik"
Aira melepas pelukan tersebut, menghapus air matanya yang jatuh. Kemudian memberikan senyum terbaiknya untuk Razita.
"Alhamdulillah"
"Dari mana mbak Aira dapat uang sebanyak itu?"
Aira menutup map tersebut dan tersenyum simpul karena pertanyaan Razita, "Kamu tidak perlu tau, sekarang kita harus fokus lagi untuk membereskan sisa kekacauan yang terjadi"
Razita mengangguk patuh, "Mbak harus menemui seseorang, kamu disini ya. Ajak yang lain makan siang"
"Mbak, pergi dulu. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumusslama warahmatullah"
Aira saat ini sedang berada didalam taksi. Dia akan menemui Rifa dikontrakan gadis itu. Semoga saja sahabatnya itu ada disana. Selama perjalanan, hati Aira cemas tak karuan. Dia ingin memastikannya sendiri.
Taksi yang ditumpangi Aira berhenti disebuah rumah minimalis, yang dominan dengan warna biru. Setelah membayar tagihannya, Aira begegas turun. Diketuknya pintu rumah Rifa, tapi tak ada sahutan sama sekali.
Jika dalam ketukan ketiga, tak kunjung Aira dibukakan pintu, gadis itu akan meninggalkan rumah Rifa. Seperti apapun kondisinya, adab dalam bertamu tetap harus dijunjung.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, hal. 443). Dalam kitab tersebut menjelaskan tentang tujuh adab meminta izin masuk rumah orang lain yakni:
"Adab minta izin masuk rumah orang lain, yakni: berjalan (berdiri) di samping dinding rumah, tidak menghadap pintu, membaca tasbih dan tahmid sebelum ketuk pintu, berucap salam setelah itu, tidak mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di dalam rumah, minta izin masuk sesudah berucap salam, jika diizinkan silakan masuk, jika tidak sebaiknya segera pulang, dan jangan katakan "Saya", tetapi sebaiknya katakan "Si Fulan" (sebutkan nama diri) jika tuan/nyonya rumah menanyakan".
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY AIRA [TERBIT]
Spiritual[PART MASIH LENGKAP, SILAKAN SEGERA BACA] 18+ disini maksudnya adalah, cerita yang ditulis mengandung bahasa kasar dan adegan kekerasan, hanya untuk menunjang karakter tokoh. Tidak untuk ditiru!. [Follow sebelum membaca] ========= Menikah dengan ses...