[16] DIPATAHKAN KEMBALI

3.8K 381 63
                                    

Kamu tau mas, yang membuat masa lalu susah dilupakan bukan kenangannya, tetapi karena dirimu sendiri yang diam-diam masih mengharapkannya”.


—Maira Salsabila Gunandhi—

[DIARY AIRA]



Tangan Aira sudah tidak lagi membengkak seperti sebelumnya. Setelah dipaksa kerumah sakit oleh Fauzan, kini kondisinya jauh lebih membaik karena mendapat penanganan yang tepat.

Gadis itu sekarang tengah berada di Rumah singgah Adz-dzkiru. Zahra, anak paling besar disana rencananya akan keluar dari rumah singgah dan melanjutkan pendidikannya didalam pesantren.

Remaja 15 tahun tersebut meminta Aira untuk mengantarkan ke pondok pesantren pilihannya, disana juga Zahra mendapat beasiswa penuh untuk belajar.

“Mba Aira, makasih ya udah sering bantuin Zahra. Maaf Zahra sering ngerepotin mbak”

“Ngak papa Zahra, ini udah jadi tugas mbak. Sudah pamit dengan kak Adnan?”

“Zahra semalam sudah telfon Adnan. Katanya nanti mau kesini” suara Bu Mayang ikut menimpali “Oh, itu Adnan”

Semua mata tertuju pada Adnan. Pria dengan setelan celana bahan hitam dengan jas abu-abu nya mendekat kearah mereka bertiga.

“Assalamu'alaikum” Salamnya dengan menangkupkan kedua tangan didada

“Wa'alaikumussalam warahmatullah”

“Sudah siap Zahra? Ayo berangkat”

“Lho? Zahra ngak sama mbak Aira?” Aira melontarkan pertanyaan pada Zahra

“Kak Adnan bilang mau ikut nganter mbak Ai”

“Ayo sudah makin siang. Lagian kita juga ngak berdua saja” Timpal Adnan sambil mengangkat barang-barang Zahra dan dimasukkan kedalam bagasi.

Ketiganya akhirnya berangkat setelah berpamitan dengan Bu Mayang. Adnan sendiri duduk dijok bagian depan sebagai kemudi. Sementara Aira dan Zahra duduk dibagian belakang.

Zahra sendiri terus saja berceloteh kepada Aira. Sesekali gadis itu melontarkan gurauan yang membuat Aira tertawa. Sementara Adnan memilih diam dan menyimak pembicaraan dua wanita tersebut. Sesekali menyaut jika Zahra mengajukan tanya.

“Kak Adnan, mbak Salwa mana? Kok ngak diajak lagi”

Adnan yang mendapat pertanyaan tersebut langsung menegang. Netranya melirik ke spion tengah. Tatapannya langsung bertemu dengan manik hitam legam milik Aira.

“Mbak Salwa ada keperluan lain Zah”

“Yah, padahal Zahra udah kangen banget. Lain waktu kalau mau nengokin Zahra mbak Salwa di ajak ya kak”

Adnan hanya mengangguk kaku dengan perkataan Zahra. Perasaannya sedikit tidak karuan ketika mendapati Aira hanya diam dan memilih membuang pandangannya kejalanan.

Setelah tiga puluh menit diam tanpa saling berbicara, akhirnya keduanya sampai di pondok pesantren tujuan. Ketiganya turun dari mobil dan langsung dihampiri oleh seorang santri yang sedang berjaga di pos penjagaan.

DIARY AIRA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang