“Sebab kamu tak lagi tinggal dimasa lalu. Tuhan mengambil milikmu sebab Tuhan lebih kuasa atas dirimu. Ikhlaskan apa yang sudah seharusnya kamu lepaskan”.
[DIARY AIRA]
•
••••√√√•••
“Syarifah Hulya dan keluarganya tadi datang kemari nak” ucap Ummah Khadijah.
Abuya Yusuf mendesah panjang, “Pernikahan kamu dengan Aira harus segera diumumkan Fauzan. Lamaran untukmu terus saja berdatangan. Abuya tak mungkin terus-menerus menggantung mereka. Mengatakan bahwa kamu sudah menikah itu hal yang tidak mereka percayai, sebab semua orang tahu bahwa Salwa meninggalkan kamu”
Bukan hal yang mengherankan, Fauzan semenjak pulang dari Mesir banyak sekali lamaran yang datang untuknya. Sayangnya, kala itu Fauzan sudah menetapkan Salwa sebagai pilihannya. Salwa—adik asuh dari Syarifah Mumtaza Hawa Al-Haddar.
“Abuya dan Ummah, tidak pernah mempermasalahkan dirimu menikah bukan dengan seorang syarifah Fauzan. Bahkan, Ummah sangat menyukai sikap Aira. Dia baik, lagi shalihah. Apa yang kamu tunggu?” Ummah Khadijah ikut bersuara. Ia sudah tak tahan harus kucing-kucingan dengan banyak orang.
“Belum lagi, santriwati Fauzan. Mereka yang mengira kamu masih bujang kian gencar mengirimkan barang-barang untuk menarik minatmu nak. Abuya ngak mau, kalau hal itu malah menimbulkan Fitnah nantinya” tegas Abuya Yusuf
“Tapi Fauzan, Ummah tidak yakin”.
“Maksud Ummah?” Fauzan yang tadinya hanya menyenderkan kepalnya di sofa dan menutup matanya, kini berubah duduk dengan tegap.
“Begitu Aira tahu siapa kamu sebenarnya, Ummah tak yakin Aira bisa menerimanya nak. Bukan Aira yang tak pantas buat kamu. Tapi kamu yang tidak pantas untuk istri sebaik dirinya” Kalimat Ummah Khadijah berhasil menghujam hati Fauzan
Tanpa disadari dan diketahui siapapun, belakangan ini Fauzan sering memuhasabah dirinya sendiri. Do'a yang ia langitkan sudah nama Aira yang dominan. Hanya saja, ia masih butuh waktu untuk memberi penjelasan kepada istrinya.
Perhatian yang Fauzan berikan pada Salwa, semata adalah bentuk kepedulian dan penjagaanya. Sayangnya, cara yang Fauzan tempuh itu keliru. Dia mencoba menjaga wanita lain, sementara istrinya justru ia biarkan begitu saja.
“Hawa dan Salwa, keduanya adalah masa lalu kamu Fauzan”
Fauzan yang mendengar nama Hawa kembali disebut, seketika membuat tubuhnya menegang. Tatapannya menjadi nyalang, dengan sigap Ummah Khadijah memeluk dan mengelus punggung Fauzan.
“Benar kata Ummah mu Fauzan. Kamu sudah tak lagi tinggal dimasa lalu. Allah mengambil milikmu sebab Allah lebih kuasa atas dirimu. Ikhlaskan apa yang sudah seharusnya kamu lepaskan”. Abuya menjeda kalimatnya, “Semua yang terjadi di masa lalu bukan kendalimu nak. Hawa ya—”
“Fauzan ke kamar dulu Ummah, Abuya. Assalamualaikum”
Abuya dan Ummah saling tatap satu sama lain. Keduanya tak masalah dengan sikap Fauzan barusan. Membahas Hawa memang hal sensitif bagi Fauzan. Sebenarnya, yang membuat ia dilema dengan Aira itu bukan Salwa, melainkan Hawa.
******
Fauzan duduk bersandar dikursi yang ada di balkon kamarnya. Balkon tersebut berhadapan langsung dengan halaman belakang tempat berkuda di pesantren. Tangan kanannya memegang sebuah figura yang menampakan wajah 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Sedangkan tangan kirinya menggenggam surat yang sudah nampak usang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY AIRA [TERBIT]
Espiritual[PART MASIH LENGKAP, SILAKAN SEGERA BACA] 18+ disini maksudnya adalah, cerita yang ditulis mengandung bahasa kasar dan adegan kekerasan, hanya untuk menunjang karakter tokoh. Tidak untuk ditiru!. [Follow sebelum membaca] ========= Menikah dengan ses...