BUKU || BAB 9

990 72 1
                                    



Gak rusuh, gak seru!

-Dandi Saputra siregar-
.
.
.

BAB 9. TELAT.

🌏🌏🌏

“Hallo, lo di mana El? Kok, jam segini belum berangkat juga?” Mizar menunggu sahutan dari seberang sana dengan waktu yang cukup lama.

Terdengar suara barang jatuh dan juga umpatan dari mulut El yang juga turut menghiasi telepon mereka berdua saat ini, membuat Mizar menghela napas pelan.

“Lo lagi apa sih, El. Kedengerannya rusuh banget dari sini.” Memindahkan ponselnya dari tangan kiri menuju tangan kanan. Lalu ia membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman dari sebelumnya.

Kumara yang melihat itu, menatap Mizar sekilas lalu kembali pada lamunannya. Rasa resah yang ia rasakan saat ini membuat Kumara bingung sekaligus ... takut.

Takut jika rasa khawatir ini menimbulkan hal yang tidak ia inginkan ke depannya.

Kembali pada Mizar, pria itu sedang mengumpat kesal pada ponselnya. Tidak, lebih tepatnya pada orang yang ada di seberang sana.

“Woy, El. Ya, elah. Gue dari tadi tanya kenapa lo malah sibuk sendiri, bangke!”

Woy, lah. Parfum gue ada di mana.”

“Astaghfirullah. El, lo dengerin gue ngomong enggak sih?” Mental Mizar mulai terguncang. Menghadapi sifat El memang harus mempunyai kesabaran extra.

Bentar, Zar. Sekarang gue lagi nyari sisir warna kuning dulu. Duh, sisir gue yang warna kuning di mana, nih.”

Mizar menghela napas pelan. Mengusap wajahnya kasar lalu kembali beristighfar agar tidak kelepasan untuk membanting ponsel mahalnya yang seharga dua juta itu ke lantai.

“Jadi, pada intinya lo lagi ada di rumah, kan, El?” tanya Mizar dengan lirih karena mulai merasa lelah.

“Iya. Gue ijin,” balas El diiringi dengan suara barang jatuh. “Ya, ampun parfum mahal gua pecah.”

“Oke. Kalau begitu.” Mizar menutup sambungan telepon dengan cepat. Tidak ingin kesabarannya habis hanya karena menghadapi seorang teman seperti Elmo Altair.

Menoleh ke arah Kumara yang ada di sampingnya. “Ma, si El ternyata ijin,” kata Mizar.

Kumara tidak menjawab. Ia tetap diam dan menatap ke arah papan tulis yang ada di depannya dengan pandangan kosong.

“Ma. Kumara,” panggil Mizar.

Dengan penuh penghayatan, Mizar memukul lengan Kumara dengan keras, sehingga membuat Kumara tersadar dari lamunannya.

“Astaghfirullah.”

“Lo kenapa sih. Gue panggil kenapa nggak nyaut,” ucap Mizar yang kembali diuji kesabarannya.

“Gimana sama si El? Dia sakit atau kesiangan?” Kumara mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan sengaja. Tidak ingin jika Mizar tahu apa yang sedang ia pikirkan sedari tadi.

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang