BUKU|| BAB 37

832 42 3
                                    

BAB 37. I KNOW


Bumi Shafira. Nama itu Kumara pertama kali tahu ketika dia baru saja pindah ke komplek perumahan yang sampai saat ini ia tempati.

Perempuan yang sukses membuat Kumara tertarik. Anak perempuan berpipi gembul yang selalu menyedot jus strawberry di botol minumannya.

“Hai! Nama aku Umi. Nama kamu ciapa?”

Bahkan Kumara masih ingat betul, bagaimana dulu pertemuan pertama mereka di depan rumah Kumara.

Kumara yang sudah duduk di bangku sekolah dasar itu, terlalu dini untuk mengerti apa yang namanya cinta pandangan pertama.

Kumara hanya tahu, bahwa dia sulit untuk berjauhan dengan anak perempuan berpipi gembul itu. Bahkan ketika dia ditawari untuk bersekolah di Jogja tempat neneknya tinggal Kumara tolak dengan alasan tidak ingin berjauhan dengan tetangga gemasnya.

Terlebih di saat Kumara merasa tidak percaya diri dengan nilai ujian. Takut jika nanti mengecewakan kedua orangtuanya, Bumi yang waktu itu sudah duduk di bangku kelas empat sekolah dasar pun tiba-tiba memeluk lengannya sembari mengatakan bahwa Kumara sudah melakukan semaksimal mungkin.  Apapun hasilnya, Kumara setidaknya sudah berusaha.

Semenjak hari itu, Kumara semakin takut jika Bumi tiba-tiba hilang dan pergi dari hidupnya. Karena Kumara sudah menganggap Bumi sebagai cahayanya.

Dan Kumara benci gelap. Jadi, karena Bumi adalah cahayanya. Perempuan itu tidak boleh pergi.

Egois? Jelas.

Namun, bayang-bayang akan masa lalu selalu menghantui. Sampai tidak menyadari bahwa anak kecil yang dulu berpipi gembul itu kini sudah berubah menjadi perempuan yang jauh lebih cantik.

Bagaimana bisa Kumara tidak jatuh cinta? Yang sayangnya baru dia sadari ketika Bumi hampir menyerah.

“Aku bawain nasi uduk Bu Wati sama jus strawberry, kamu cepet bangun gih. Cuci muka sama sikat gigi. Aku tunggu di meja makan, ya?” ujar Kumara sembari menepuk pipi halus milik Bumi

Gumaman yang keluar dari mulut Bumi keluar sembari berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa begitu berat.

“Aku ke bawah dulu kalau begitu,” pamit Kumara lalu berjalan keluar dari kamar Bumi.

Ketika keluar dari kamar Bumi, Kumara sudah dihadapkan dengan tatapan tajam milik Langit.

“Ikut gue.” Suara berat milik Langit menyambut Kumara membuat Kumara seakan bertanya-tanya.

Ruangan yang cukup gelap itu menyambut Kumara. Warna hitam dan abu-abu itu menghiasi setiap sudut yang Kumara yakini adalah kamar Langit.

“Jauhin Umi.”

Mendengarnya Kumara dibuat bingung. “Jangan aneh-aneh, Lang! Itu gak bakal mungkin.”

“Mungkin. Lo bisa pergi dan ... Semua beres. Gampang, kan?”

“Gue tetep gak mau!”

Langit sudah gila, mana mungkin dia pergi meninggalkan pujaan hatinya. Membayangkannya saja Kumara tidak bisa.

“Kalau gitu. Umi harus tahu, kejadian beberapa tahun lalu yang menyebabkan dia hilang ingatan adalah lo. Lo bisa bayangin kalau ingatan Umi kembali dia bakal nyari pangeran kecilnya yang sudah menolong dia dan ... Umi bakal benci sama Lo.”

🌎

“Makannya pelan-pelan, nanti keselek loh.” Kumara berujar sembari menyomot sisa nasi yang ada di pipi Bumi.

Kumara terus memperhatikan Bumi yang sedang melahap nasi uduk dengan antusias. Raut wajah Bumi begitu menggemaskan. Tidak akan pernah Kumara lupakan dan akan tersimpan di dalam memori kepalanya.

Ini sebenernya salah satu usaha Kumara untuk tidak membuat perempuan itu ngambek lagi karena menyuruh Mizar untuk mengantarkan pulang Bumi ke rumah saat pulang sekolah tadi.

Bumi jelas marah karena sudah menunggu Kumara lama di parkiran sekolah malah justru yang datang adalah Mizar. Terlebih mengatakan bahwa Kumara sedang ada urusan penting.

“Kamu udah gak ngambekkan?” tanya Kumara hati-hati. Takut jika Bumi bertambah kali lipat ngambeknya.

“Tergantung.” Bumi berujar cuek. Masih tetap makan dan membiarkan Kumara pusing sendiri.

“Tergantung?” beo Kumara.

Bumi mengangguk. “Tergantung kamu mau jawab apa nggak pertanyaan aku. Tadi kenapa bukan kamu yang anter aku? Terus ada urusan penting apa sampai kamu nyuruh Mizar  buat gantiin kamu?”

Melihat reaksi Kumara jelas membuat Bumi tersenyum miris. Bukannya dia tidak tahu tentang dibalik alasan Kumara tadi tidak mengantarnya. Hanya saja dia ingin jika Kumara jujur dan terbuka kepadanya.

Bumi hanya ingin Kumara jujur. Serta mau berbagi masalah yang sedang pria itu hadapi kepadanya. Namun, lagi-lagi Kumara hanya diam. Pria itu memilih untuk memendamnya sendiri.

Sejujurnya Bumi tidak marah, hanya saja dia sedikit merasa kecewa karena sampai saat ini Kumara masih belum percaya kepadanya untuk menjadi rumah untuk pria itu pulang.

Terkadang Bumi merasa bahwa Kumara tidak benar-benar mencintainya atau mungkin laki-laki itu hanya merasa bersalah saja selama ini?

🌎

Semenjak perbincangan tadi, Bumi memutuskan untuk kembali ke kamar. Dia meninggalkan Kumara di ruang makan tanpa perduli dengan laki-laki itu.

Perempuan itu berjalan menuju laci meja belajarnya. Meraih kotak yang berisi foto polaroid dan flashdisk yang waktu itu ia temui di kamarnya.

Dia sudah tahu siapa pengirimnya. Bumi meraih ponselnya dan menghubungi seseorang untuk menemuinya di sebuah kafe.

Kafe Rusuh milik Mita dan Aldy menjadi tujuan utama Bumi. Dia kini menunggu orang itu di sini. Hingga seseorang datang.

“Widih tumben nih ngajak ketemuan. Ada apa?” tanya laki-laki itu.

Bumi menyodorkan isi dari kado itu, membuat laki-laki yang ada di depannya mematung.

“Gue tahu lo tahu sesuatu tentang kotak itu.” Bumi menanti reaksi pria yang ada di depannya. Lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Salah satu alasan gue ngajak lo ketemuan. Jadi, tolong. Bisa lo jelasin semuanya?”

“Gue gak ngerti sama omongan Lo!” kilah pria tersebut. Membuat Bumi tersenyum tipis.

“Gue tahu lo mengetahui sesuatu, Ji.”

Aji. Pria itu menggeleng. “Gue gak tahu!”

Bumi menghela napas berat. “Gue udah inget semuanya,” aku Bumi membuat Aji bergeming.


TBC

Akhirnya gue bisa update GUYS ❤️🔥 seneng banget aku tuh! Btw, masih ada yang penasaran nggak dengan si A ini?

Part ini menurut kamu gimana?

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang