BUKU || BAB 15

971 57 14
                                    

Gue emang suka akting. Tapi kalau di depan lo gue gak pernah akting. Lebih singkatnya, gue serius tulus sama lo.

-Bumi Shafira si Buaya betina–
.
.
.

BAB 15. BAPER JANGAN?

🌏🌏🌏

“Mau pulang bareng?”

Satu kalimat berisi tiga kata itu membuat Bumi mati kutu di tempat. Apakah Bumi tidak salah dengar, kawan?

“Hah?”

Entah mengapa jika di hadapan Kumara selalu saja dibuat loading. Lambat berfikir dan mendadak menjadi orang bego seketika.

Kumara berdecak sebal. Lalu kembali menegakkan tubuhnya dan kemudian menghela napas pelan.

“Mau pulang bareng apa enggak? Udah sore ini. Takutnya lo kenapa-kenapa di jalan kalau pulang sendirian.”

Seolah otak cantiknya itu sudah kembali, kini Bumi mulai mengerti maksud dari ucapan Kumara.

“Mau!” sahut Bumi dengan cepat, takut jika Kumara berubah pikiran dan menarik kata-katanya kembali untuk pulang bersama.

“Ya, udah, ayuk! Kita ke parkiran,” ajak Kumara. Bumi pun mengangguk mengiyakan.

Sepanjang jalan koridor menuju tempat parkir, tak henti-hentinya Bumi tersenyum. Membayangkan bagaimana romantisnya dia dan Kumara nanti.

“Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Kurang obat lo?” Kumara menghentikan langkahnya. Menatap Bumi heran.

Hayalan indah nan romantis itu seketika buyar begitu saja saat mendengar suara berat milik Kumara.

“Sembarangan! Gue gak sakit, ya!” jawab Bumi tidak terima.

Kumara mengangkat bahunya ke atas. Lalu ia kembali melangkah. Sesampainya di parkiran sekolah, dengan segera Kumara melangkah ke arah motornya yang sedang terpakir diikuti dengan Bumi yang berada di belakangnya.

“Ngapain lo ikutin gue?” tanya Kumara heran. Menatap Bumi yang sedang memalingkan wajahnya sembari menggaruk tengkuknya.

Melirik Kumara lalu ia bertanya, “Kita pulang bareng, kan?”

Bumi memastikan jika pendengarannya tadi tidak sedang bolot. Menatap Kumara was-was dan berharap jika Kumara memang benar-benar mengajaknya pulang bersama.

Kumara mengangguk mengiyakan. “Iya, kita emang pulang bareng. Terus masalahnya apa?” Kumara meraih helm fullface bewarna ungu yang sedang tercantel di spion motor. “Kenapa? Lo gak mau pulang bareng gue?” Kumara kembali bertanya.

Bumi menggeleng cepat. Mana mungkin Bumi tidak mau pulang berdua dengan Kumara. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka sudah jelas bahwa Bumi sangat-sangat bodoh karena sudah melewatkan kesempatan emas itu.

“Kalau kita emang pulang bareng. Kenapa gue gak boleh ngikutin lo?”

Kumara kini mulai paham. Lalu menganggukan kepalanya pelan. “Kita emang pulang bareng, tapi kita enggak boncengan, Shafi.”

“Kalau gue gak bonceng, lo. Terus gue pulang naik apa, Uma!” seru Bumi gemas. Gemas ingin meluk.

“Naik motor. Tuh, motor lo ada.” Kumara menunjuk motor matic bewarna merah yang sedang terpakir tidak jauh dengannya.

Bumi mengerutkan dahinya. Menatap sang motor dengan heran. Bumi bergumam di kala ia sudah mendekati motornya. “Kok, motor gue bisa ada di sini? Perasaan motor gue masih di bengkel. Apa Aldi yang naruh di sini?”

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang