BUKU || BAB 41

1.3K 45 7
                                    

Aku sayang kamu Bumi Shafira. Kamu adalah tokoh favorit di dalam kehidupanku. Jangan pernah menangis untuk aku yang brengsek ini.

🌎

Sedari tadi Bumi terus menghubungi Kumara, namun sayangnya pria itu belum juga membalasnya. Bahkan beberapa kali panggilan telepon darinya Kumara tolak. Apakah semalam Bumi sudah melakukan kesalahan?

Atau mungkin Kumara sedang sibuk di rumah neneknya itu? Karena tadi pagi Kumara mengatakan akan pergi menuju rumah neneknya yang ada di Jogja bersama kedua orangtuanya.

Ini sudah malam, Bumi yakin Kumara pasti tidak menjawab teleponnya mungkin Kumara sedang istirahat. Tidak apa-apa, masih ada hari esok untuk bisa menanyai kabar Kumara. Namun, mengapa perasaanya tidak enak?

Lalu terdengar suara bell rumahnya malam-malam. Oh, atau mungkin itu adalah Kumara?

Dengan cepat Bumi turun ke bawah dan membukakan pintu untuk orang yang sudah memencet bell. Senyum manis Bumi seketika luntur. Orang yang ada di hadapannya kini bukan Kumara, melainkan kakak adik yang sempat membuat kekacauan di hidup Bumi.

Kabar yang baru saja Iren dan juga Byan sampaikan sukses membuat jantung Bumi seakan berhenti berdetak. Dia mematung, berusaha meraih sisa-sisa kewarasannya. Namun, yang bisa Bumi raih hanya rasa sesak yang tidak ujung usai.

Bergeming di tempat, memandang kakak adik itu dengan tatapan tajam. Mereka berdua pasti sedang main-main saat ini. Tidak mungkin Kumara Setega itu pergi meninggalkan dirinya.

Bahkan belum ada dua puluh empat jam Bumi masih bisa merasakan pelukan Kumara di tubuhnya. Harum khas milik Kumara yang masih terngiang di benaknya pun masih bisa Bumi ingat.

“Kalian kalau mau misahin gue sama Kumara caranya bukan kayak gini! Belum cukup emang yang kemarin-kemarin!” seru Bumi histeris. Berhasil membuat orang yang ada di rumahnya turun.

Langit yang melihat kembarannya histeris pun mendekati Bumi. Membawa tubuh Bumi ke dalam pelukannya. Tatapan dari pria itu seolah sedang bertanya kepada kedua orang yang ada di depannya ini yang jelas Langit kenal.

Iren dan Byan. Kakak beradik yang selama ini selalu Langit awasi dengan jarak dekat.

Byan yang mengerti arti tatapan dari Langit pun berujar meski ada beberapa jeda yang sempat pria itu ambil.

“Kumara ... dia pergi,” kata Byan. Kalimatnya bahkan terputus, seolah suaranya tercekat dan tidak berani untuk bersuara lagi. Tatapan terluka tercetak jelas di dua manik mata coklat Bumi, membuat Byan juga ikut sesak.

🌎

Tadi pagi, sebelum Kumara pamit akan ke Jogja, Kumara masih bisa Bumi rengkuh, memeluk pria itu dengan erat. Masih tersenyum tipis kepada Bumi yang hampir saja menitikkan air mata karena tidak ingin ditinggalkan oleh pria itu ke Jogja selama tiga hari.

Bumi berlari begitu saja di koridor rumah sakit. Tidak ada suara apapun yang Bumi dengar selain detak jantungnya sendiri.

Berulangkali Bumi meyakinkan diri bahwa Kumara akan baik-baik saja. Semua yang diucapkan Iren dan juga Byan adalah kebohongan semata. Mereka berdua hanya ingin memisahkan dirinya dengan Kumara sama seperti sebelum-sebelumnya yang mereka lakukan.

Kumara tidak mungkin pergi begitu saja. Dia sudah berada di titik ini, tidak mungkin Kumara tega meninggalkan Bumi begitu saja.

“Umi,” panggil Bunda Kumara yang langsung memeluk tubuh Bumi.

“Bunda ... Kumara dia masih di rumah neneknya, kan?” tanya Bumi masih memeluk tubuh wanita paruh baya itu.

Semua harapan Bumi harus kandas begitu saja saat Bunda Kumara membawa Bumi menuju kamar rawat Kumara. Wajah tenang Kumara yang selalu membuat Bumi betah melihatnya kini sudah dipenuhi luka goresan.

Bibir Kumara yang selalu tersenyum tipis itu kini tampak pucat. “Uma,” lirih Bumi.

Bunda Kumara tidak sanggup untuk melihat semua ini langsung saja pergi keluar ruangan dan sosok El juga Mizar lah yang kini menemani Bumi di ruangan itu.

“Kumara mengalami kecelakaan tadi pagi saat dia akan ke bandara. Kumara tidak benar-benar ingin ke rumah neneknya. Dia bohong sama lo, Kumara sebenernya ingin melanjutkan studinya di Jepang. Kumara belum benar-benar berani untuk selalu bersama lo, Shaf. Dia masih saja ragu dan merasa bersalah karena sudah merebut kebahagiaan lo.” El mulai menjelaskan. Melihat Bumi seperti ini, membuat dia merasa khawatir juga prihatin.

“Kumara memang bodoh,” timpal Mizar.

Kalau aku nyuruh kamu pergi, apa yang akan kamu lakukan?”

Ucapan Kumara kala itu tiba-tiba saja terlintas di benak Bumi. Menatap tubuh Kumara yang tidak berdaya itu dengan air mata yang terus saja turun. Kumara yang biasanya menghapus air mata Bumi saat perempuan itu menangis kini sudah tidak bisa lagi.

Kecelakaan mobil yang dialami Kumara membuat pria itu kehilangan nyawanya. Bumi tertawa miris. “Kenapa gak nyuruh aku pergi aja? Kalau gini, gimana aku minta kamu kembali?”

“Aku lupa, selama ini cuman ada kalimat Bumi untuk Kumara. Bukan Kumara untuk Bumi. Kamu ... kenapa tega?” Bumi tidak benar-benar baik-baik saja saat ini. Bahkan Bumi hanya menampilkan tatapan kosong. Memandang gundukan tanah yang terdapat nama Kumara Ransi di sana.

Aku sayang kamu Bumi Shafira. Kamu adalah tokoh favorit di dalam kehidupanku. Jangan pernah menangis untuk aku yang brengsek ini.

Itu adalah isi surat yang Kumara tinggalkan untuk Bumi sebelum akan pergi ke Jepang. Surat itu dititipkan kepada Langit. Kini kisah Bumi dan Kumara telah usai. Perjalanan Bumi masih panjang dan Kumara akan selalu menjadi nomor satu di dalam hati Bumi.

END

Akhirnya Ending juga, ya. Setelah hampir dua tahun cerita ini aku tulis akhirnya tepat pada tanggal 11 mei 2023 cerita ini tamat juga.

Terimakasih untuk kalian yang mau dengan suka rela membaca cerita ini dan aku juga meminta maaf jika endingnya tidak begitu memuaskan tapi, menurut aku ini adalah ending yang terbaik untuk mereka. Karena sedari awal aku sudah memikirkan ending ini sedari dulu.

Ini bukan akhir dari sebuah cerita, melainkan awal dari cerita sebenarnya.

See you!

Epilognya nyusul okay?

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang