BUKU || BAB 39

740 37 0
                                    

Kumara masih mengingat kejadian yang menimpa Bumi tujuh tahun lalu dengan jelas. Semua berawal dari dirinya sendiri yang merasa diabaikan dan seolah tidak dianggap.

Dulu, jauh sebelum Bumi bertemu dengan anak laki-laki yang sering Bumi sebut sebagai pangeran. Bumi dan Kumara tidak pernah terpisahkan. Meski Kumara jahil, Bumi tidak pernah mau jauh-jauh dari Kumara. Namun, setelah nama 'pangeran' itu muncul. Bumi sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada Kumara. Terlebih saat dia tahu ternyata pangeran yang dimaksud Bumi adalah sepupu yang paling Kumara hindari.

Awalnya Kumara berusaha untuk biasa-biasa saja dan tetap menerima kehadiran dua anak laki-laki itu diantara dia dan Bumi. Namun, setelah bertahun-tahun hingga Bumi duduk di bangku sekolah dasar kelas 4. Kumara tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak menyukai kehadiran Byan dan juga Aji.

Hingga puncaknya di hari ulangtahun Kumara yang ke dua belas tahun. Kumara dibuat kecewa sekaligus kesal. Pasalnya Bumi tidak mengindahkan permintaan Kumara untuk tidak mengajak Byan dan Aji. Dengan perasaan dongkol Kumara lalu pergi begitu saja dari taman.

Mengabaikan teriakan Bumi saat memanggil nama Kumara, terus berjalan tanpa menolehkan kepalanya ke belakang karena Kumara merasa sudah tidak lagi dianggap dan diabaikan setelah melihat Bumi justru lebih sibuk dengan kedua teman barunya. Lalu, suara dentuman sekaligus teriakan yang begitu keras mampuh mengehentikan langkah Kumara. Tubuh Kumara mematung di tempat. Dengan susah payah Kumara menelan ludahnya. Untuk menoleh pun terasa tidak mampu.

Segala dugaannya sudah memenuhi kepala Kumara untuk membuat skenario yang tidak-tidak. Sedikit demi sedikit dia mengembalikan tubuhnya dan ... pandangan Kumara sudah mengabur tertutup genangan air yang ingin keluar.

Di sana Kumara dapat melihat Bumi sudah tergeletak di aspal jalan raya dengan genangan darah yang memenuhi aspal. Byan dan Aji sudah mendekat dengan diikuti beberapa orang yang mulai berdatangan.

“Umi,” lirih Kumara kaku. Hatinya merasa sesak dan dia benar-benar merasa bersalah.

🌎

Pengecut.

Brengsek.

Gak tahu diri.

Ya, mungkin itu sebutan yang cocok untuk Kumara selama ini. Dia sudah mengambil keputusan dan keputusannya sudah ia pikirkan matang-matang.

Mizar dan El menatap Kumara dengan tatapan ... seolah mempertanyakan keputusan yang diambil secara mendadak itu.

“Lo yakin?” tanya El. Kali ini laki-laki itu terlihat serius. Tidak seperti biasanya yang senang sekali bercanda.

Kumara tahu jika keputusan yang sudah ia ambil ini terdengar sangat mendadak, namun jauh sebelum ujian kemarin berakhir, Kumara sudah memikirkannya secara matang-matang.

“Shafira tahu sama keputusan lo kali ini?” Mizar yang sedari tadi diam dan memperhatikan mulai bersuara. Merasa tidak yakin dengan keputusan Kumara yang berniat ingin pergi begitu saja.

Diamnya Kumara cukup memberi Mizar dan El kesimpulan bahwa Kumara belum berbicara apapun dengan Bumi mengenai hal satu ini.

“Kalian baru aja jadian. Udah mau pisah aja?” tanya El histeris.

Tiga bulan sudah Kumara dan Bumi menjalin kasih. Lalu tiba-tiba dia akan pergi dari Bumi? Terdengar brengsek memang.

“Lo gila, Ma!” umpat El. Kumara membenarkan ucapan El. Sedikit menyunggingkan senyum kecut.

Kumara yang sempat menunduk tadi, kini mendongak. Memandang kedua sahabatnya yang di mana selalu ada untuknya.

“Setidaknya kalau lo mau pergi ... lo pamit sama dia. Jangan pergi gitu aja, yang ada Shafi benci sama lo,” amanat Mizar. Entah sejak kapan laki-laki itu tampak berubah lebih dewasa.

Namun, bukankah itu tujuan Kumara. Membuat Bumi benci kepadanya dan mengembalikan semua yang telah Kumara renggut.

🌎

Bumi menangis tersedu-sedu, kedua kelopak matanya tidak henti-hentinya untuk tidak berhenti keluar. Memandang kearah laptop miliknya yang sedang menampilkan sebuah film yang berasal dari negeri gingseng itu.

Di dalam adegan saat ini, tokoh utama pria dan tokoh utama perempuan sedang berada di sebuah jalan yang akan menuju rumah si tokoh utama cewek. Pacar perempuan itu tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan mereka yang sudah lima tahun lamanya.

Membuat Bumi menangis tersedu-sedu sembari mengumpat pacar dari perempuan yang ada di dalam film tersebut. “Cowok itu tega banget mau ninggalin pacarnya yang cinta mati sama dia. Harusnya cowo kaya gitu gak perlu dipertahankan!”

“Untung aja Kumara orangnya gak Setega itu,” gumam Bumi lalu tiba-tiba dia tersenyum saat mengingat tiga bulan lalu di kamar Kumara saat Kumara tiba-tiba sakit. Bumi kembali tertarik pada tiga bulan lalu.

Assalamu'alaikum. Mantu bunda sudah datang nih!” seru Bumi, setelahnya pintu rumah Kumara terbuka. Menampilkan sosok Iren temannya yang sukses membuat dahi Bumi mengerut.

“Ada siapa, Ren?” tanya Bunda Kumara dari belakang.

“Oh, ya ampun Umi! Kiraan siapa." Sudut bibir Bumi terangkat hingga membentuk sebuah lengkungan yang terlihat cukup cantik.

Kamu pasti mau bertemu dengan Kumara? Kumara sedang ada di dalam kamar. Kamu masuk aja gih,” ujar bunda Kumara. Membuat Bumi tersenyum cerah. Lalu setelah kepergian bunda Kumara, kini tatapan Bumi beralih ke arah Iren. Ada berbagai pertanyaan yang kini bersarang di dalam pikiran Bumi. Merasa bingung dengan adanya Iren di rumah Kumara.

“Lo gak perlu khawatir, gue sepupunya Kumara.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Iren pergi untuk menyusul bunda Kumara. Meski tidak begitu mengerti arti dari ucapan Iren. Bumi memutuskan untuk tidak terlalu peduli dan melangkah ke arah kamar milik Kumara.

“Umi,” panggil Kumara yang sudah lama tidak memanggilnya dengan sebutan itu.  Ada rasa senang sekaligus rindu.

“Kamu udah minum obat?” tanya Bumi. Mendekat ke arah Kumara. Meletakkan punggung tangannya tepat di dahi Kumara. Rasa hangat langsung terasa.

Kumara tersenyum, meraih tangan Bumi lalu dikecupnya punggung tangan itu, setelahnya Kumara usap dengan lembut. “Udah. Kamu gak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Soalnya obatku sudah datang,” ucap Kumara lembut.

Ada rasa senang, geli dan berbunga-bunga. Jantung Bumi berdetak begitu kencang dari biasanya. Kumara selalu membuat Bumi tidak siap saat diserang seperti ini.

Kumara sedikit bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menyuruh Bumi untuk duduk di samping Kumara. Tepat di atas ranjang milik Kumara. Jemari Bumi, Kumara genggam dengan lembut.

“Aku tidak tahu ini sudah terlambat atau tidak. Namun, yang pasti aku tidak mau menyesal di masa depan jika tidak segera mengatakan ini. Sebelumnya aku minta maaf jika selama ini aku selalu buat kamu berjuang sendirian. Aku sayang sama kamu, bukan sebagai kakak, melainkan sebagai pria. Aku tahu, aku pengecut dan ... aku kalah dengan rasa gengsiku sendiri.”

Bumi tidak tahu lagi harus berkata apa karena saat ini dia dibuat mati kutu. Jadi, usahanya selama ini dan rasa cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan?

“Mau gak jadi partner hidup aku?”

TBC

Apa sih Kumara, Kumara dan segala keraguannya.

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang