BUKU || BAB 34

716 40 0
                                    

BAB 34. Terlukis Indah

Bibir Bumi tidak tahan untuk tidak tertarik ke atas saat melihat sikap malu-malu yang Kumara tunjukkan di sore hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bibir Bumi tidak tahan untuk tidak tertarik ke atas saat melihat sikap malu-malu yang Kumara tunjukkan di sore hari ini. Disaksikan oleh senja, seolah semburat jingga dari langit juga ikut merasakan rasa yang mereka rasakan.

Parfum yang selalu membuat Bumi candu, tidak juga luntur, padahal sudah sejak pagi mereka berdua jalan-jalan mengelilingi tempat yang sudah Bumi dan Kumara rencanakan.

Suara bising dari ombak tidak juga menggangu mereka berdua untuk terus menatap satu sama lain, seolah suara yang berasal dari samudera adalah backsound dari film romantis.

“Capek?” tanya Kumara sembari meraih sesuatu yang kebetulan jatuh di atas rambut coklat Bumi.

Tanpa aba-aba, jantung Bumi terpacu lebih keras. Detakan itu semakin menggila di kala tangan Kumara yang tadinya berada pada rambut Bumi kini sudah berpindah ke arah pipi Bumi.

Semburat merah tidak bisa lagi untuk tidak muncul. Dengan malu-malu Bumi menggeleng.

“Hari ini ... Kamu bahagia?” tanya Kumara kembali. Tatapan mata Kumara begitu dalam seolah sedang menyelami manik mata Bumi.

“Bahagia gak ya?” Nada jail dari Bumi membuat Kumara gemas. Dengan sekali tarikan, kini Bumi sudah berada di dalam rangkulan Kumara.

“Harus bahagia dong.” Kumara berujar lalu melanjutkannya kembali, “Kamu kenapa gemes banget sih!”

“Baru nyadar, ya? Makannya jangan gengsi-gengsi jadi orang,” sindir Bumi tanpa tahu ucapannya itu membuat Kumara terdiam.

Raut wajah rumit Kumara sama sekali tidak di sadari oleh Bumi. Kali ini pantai Ancol lah yang menjadi saksi bisu. Menikmati senja berdua tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sekitar.

Masih dengan tersenyum, Bumi kembali berujar, “Aku bangga sama kamu Uma. Jangan kepikiran untuk menyuruh aku pergi ya?”

Kumara yang sedari tadi terdiam. Kini pun membalas tatapan Bumi. Kumara tahu arti tatapan itu, seolah-olah Bumi merasakan rasa gusar yang sedang Kumara rasakan. Apakah perempuan itu sadar? Pikir Kumara.

Jemari Kumara yang digenggam oleh Bumi membuat Kumara merasakan ketakutan yang juga Bumi rasakan. Seperti sedang sama-sama menguatkan.

“Kita hadapi sama-sama oke?” Meski tidak tahu pasti yang Bumi maksud, namun kenyataannya kalimat itu mampuh membuat Kumara tenang.

🌏

Setelah dari Ancol, Bumi dan Kumara tidak langsung pulang. Malah hari ini, Bumi dan Kumara akan pergi ke suatu tempat.

Kelap-kelip lampu yang begitu terang menyambut dua sejoli ini, bergandengan tangan seolah-olah takut untuk terpisah di tempat ramai ini.

Buku : Bumi untuk Kumara (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang