Sudah seminggu lebih ini Devin mendiamkan Mia, entahlah mungkin terlihat berlebihan, namun bayangan Aldo yang memeluk Mia dan Mia yang menerimanya secara pasrah, terus menerus menghantuinya.
"Sampe kapan lo marah sama gue?" tanya Mia sambil meletakan teh buatanya. "Kalau gue salah tuh ngomong, bukannya didiemin kayak gini Vin." ucapnya.
"Emang lo salah apa?" lontar Devin.
"Gue kan gak tahu, gue salah apa sampe buat lo, ngediemin gue Vin. Makanya lo ngomong dong." ucap Mia, rasanya sudah jengkel.
"Lo aja gak tahu lo salah apa, apa lagi orang lain." cetus Devin.
"Tapi lo bukan orang lain." ucap Mia, matanya sudah berkaca kaca, Devin diam ia ingin mendengar kata lainnya lagi. Namun bukan nya bicara Mia malah memeluk Devin, membuat sang empu merasa tak bisa bernapas karena jantungnya yang seakan ingin keluar.
"Lo suami gue Vin." bisik Mia, Devin masih diam, bahkan ia tak merespon pelukan Mia. "Gue gak mau lo diemin gue, gue minta maaf." ucap Mia tangisnya semakin pecah.
Devin melepas pelukan Mia, wajah nya masih sama, datar dan menatap Mia dingin. Seakan perkataan Mia barusan sama sekali tak dapat meluluhkan hatinya. Devin memilih pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
Mia masih diam ditempat, kaki nya luruh ia menjatuhkan dirinya dilantai yang dingin. Air matanya tak bisa berhenti keluar, ia rindu Devin yang selalu mengkhawatirkannya.
'Maafin gue Vin, gue sayang sama lo. Bahkan gue udah tolak Aldo.'
Mia mengusap sisa air matanya, ia tak boleh menangis, ia tak mau anak nya merasakan kesedihan didalam sana.
_______
Seperti biasa Devin akan berangkat pagi pagi, karena sekarang ada jadwal operasi.
"Makan dulu Vin, tadi aku udah masak." ucap Mia, entah dari kapan ia mengganti gue-elo dengan aku-kamu.
"Mau sarapan dikantor." Devin tak menghiraukan Mia yang berdiri di dekat meja makan. Ia malah pergi.
"Gak papa Mi, Devin lagi buru-buru." lirih Mia, menguatkan dirinya sendiri.
Setelah kepergian Devin, selera Mia untuk makan menjadi hilang. Mia hanya meminum susu kehamilan nya. Mia yakin ia bisa melewati keadaan nya sekarang, ia harus kuat demi anak nya. Ia harus sadar diri kalau selama ini ia hanya menjadi beban bagi Devin, jadi wajar saja jika suami nya itu dingin padanya.
"Hiks...sesek banget rasanya." ucap Mia, lagi lagi air mata sialan itu menemani nya. "Bisa gak si, nih mata gak nangis terus. Lebay tahu gak." ucap Mia kesal pada diri nya sendiri. "Sejak kapan si, gue kadi lebay gini, sebel gue, jadi cewek lemah kayak gini." lirih nya.
Bukannya makin reda, justru air tangus nya semakin menjadi jadi. Apalagi saat Mia memikirkan sikap Devin selama dua minggu terakhir ini. Ah, itu sangat menyakitkan ternyata diabaikan lebih sakit dibanding harus ditinggalakan.
Dirumah sakit Devin sibuk mempersiapkan operasi, dengan khidmat Devin berdo'a terlebih dahulu sebelum masuk ruang operasi.
Suasan mulai tegang, disaat dirinya harus berjuang menghadapi hidup dan kematian pasien nya, jika ia gagal pasien nya tak akan bisa lagi, membuka matanya.
"Sus, tolong ambilkan pinset nya." titah Devin, saat sudah membiaus pasien, dengan sigap suster langsung mengambilkan nya.
Semua tim operasi mulai fokus saat Devin menyayat dibagian kanan bawah perut pasien. Devin mulai memisahkan otot perut pasien, dan membuka perut nya. Apendiks diikat dengan benang operasi, lalu dipotong.
Karena apendiks sudah pecah, lalu Devin membasuh bagian perut dengan air garam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married By Accident [END]
Romance"Ngandung anak hasil kondom bocor aja bangga." lontar Difa ia memalingkan wajah nya, seakan jijik melihat Mia. Mia berusaha tenang, ia mengepalkan tangan nya. wajah nya merah padam. plakkk... dan ya, kini tangan Mia sudah mendarat tepat di pipi mul...