17.😊

4.2K 209 2
                                    

Hari ini Devin menghabiskan waktu nya bersama Mia, ia sengaja mematikan ponselnya, agar tak ada yang bisa mengubunginya, bahkan Devin menyuruh Cici pulang.

"Vin, kalau nanti bayi aku lahir kamu mau cewek apa cowok?" tanya Mia, sesekali matanya menatap telivisi yang sedari tadi menyala.

"Bayi kita." sanggah Devin. Mia tersenyum senang, Devin sudah seperti 'angel' dikehidupannya. "Mau cowo ataupun cewek, dia tetep anak kita kan." lanjutnya.

"Iya, kamu bener. Tapi aku mau nya cowok." ucap Mia.

"Kenapa?" tanya Devin

"Karena jika kamu nanti lagi kerja, ada seseorang yang bakal jaga aku." Mia mengelus tangan besar Devin. "Aku gak akan mati bosen." lirih Mia.

"Aku butuh kamu Vin, aku gak mau kamu ninggalin aku." lirih Difa sambil memeluk Devin. "Maaf, aku gak pernah niat buat ninggalin kamu." ucapnya.

"Masih inget kamu sama aku?" desis Devin tak suka. Melepas pelukan Difa

"Kamu tahu kan? Kenapa dulu aku ninggalin kamu." Difa menaikan nada bicaranya. "Itu karena..."

"Kamu kenapa?" Mia berhasil membuyarkan lamunan Devin. "Kamu dengerin aku gak sih?" ucap Mia, ia melepas tangan Devin yang melingkar dibawah pinggang nya.

"Aku dengerin kok." bela Devin. Mia hanya berdecak, akhir-akhir ini Devin banyak melamun membuatnya tak nyaman.

"Mi, kamu mau gak?" tanya Devin ragu.

"Apa?" Mia mendesak.

"Kerumah aku, mm...maksudnya ke rumah Mama." ucap Devin, Mia diam untuk beberapa detik.

"Jujur aku takut, aku..."

"Coba aja dulu, oke." Devin meyakinkan Mia. Mia mengangguk semangat, ia akan berusaha.

________

Sore sepulang Devin dari rumah sakit, mereka langsung berangkat menuju rumah orang tua nya. Ah, ini membuat Mia gugup, karena mau bagaimanapun, hubungan nya dengan sang mertua tidak baik, bahkan dari pertama bertemu.

Saat gelisah seperti ini, Devin mengelus lembut tangan Mia, ia tahu kalau Mia tengah gugup dan takut.

"Kamu tahu, Mama sebenernya orang baik." lirih Devin dengan senyuman tulus. Mia masih diam. "Aku yakin, saat ini Mamah pasti nerima kamu." ucapnya.

"Kalau enggak?" ucap Mia spontan.

"Kita usaha lagi nanti." ucap Devin. Mia hanya tersenyum, itupun ia paksakan.

Setelah itu hening, sampai mereka tiba dihalaman rumah. Mia semakin tidak tenang, tangan nya sampai berkeringat. Ia memohon agar Cici sedang ada dirumah, jika tidak, habislah dia.

Devin mengetuk pintu, ia sampai lupa kalau dirumah nya ada 'bel', malah mengetuk pintu.

Butuh beberapa menit ia mengetuk, sampia pintu terbuka dan menampakan Mama nya, tentu nya dengan wajah datar.

"Masuk." hanya itu yang dikatakan Mama nya, Mia menunduk ia takut.

"Ma, Devin...."

"Ci! Cici!" teriak Mama tiba-tiba, Cici terlihat turun dari atas dengan tergesa-gesa karena teriakan Mama.

"Iya Ma, apasih? Pake teriak segala." ucap Cici, tak suka. Ia langsung melihat kearah Mia, dan mengerti dengan keadaan sekarang.

"Vin, sejak kapan lo kesini?" tanya Cici. "Ayo Mi, duduk dong, masa berdiri aja." ucapnya. Mia mengangguk dan duduk di sofa, ia masih menunduk tak berani untuk melihat sekitar.

"Devin." ucap Mama masih dengan nada dingin nya. "Ikut Mama." ucapnya mutlak. Mia meremas baju nya. Cici seakan mengerti keadaan, ia langsung mengelus punggung Mia.

Devin hanya mengangguk dan mengikuti Mama nya.

"Kamu tenang." ucap Cici memecah kehinanga. Mia mendongakan kepala nya. "Mama emang gitu, tapi dia baik banget kok." ucap Cici dengan  senyuman nya.

"Iya Ci, aku yakin Mama hanya butuh adaptasi. " Mia bohong sungguh, ia hanya pura-pura tenang saja.

"Mi, Cici gak sabar nunggu dede nya lahir deh." Cici mengelus perut Mia, ia sangat antusias atas kehamilan Mia. "Ah, kalau nanti bayi nya cewek, aku bakal ajarin nyanyi, dandan, sama jadi fuckgirl." ucap Cici diikuti dengan kekehan garing nya, Mia hanya tersenyum, dan ikut mengelus perutnya sendiri.

Devin kembali dengan wajah yang sangat ditekuk, bahkan Cici rasanya ingin menebas kepala nya saat ini, karena menambah ke khawatiran Mia.

Mia menatap Devin, seakan mengerti dengan tatapan Mia, Devin menggeleng lalu tersenyum, memberi tahu bahwa gak papa, baik-baik aja kok.

"Mia." Mama datang menghampiri Mia. Rasa nya untuk menelan saliva saja sulit untuk saat ini.

"Iy-iya." ucap Mia terbata-bata.

"Udah berapa bukan kamu?" tanya Mama.

"Delapan, genap sembilan." ucap Mia, berusaha tenang.

"Jujur, sebenarnya kamu bukan menantu impian saya, dan sampai kapanpun mungkin gak akan." ucap Mama, percayalah saat ini, Mia tengah menahan cairan bening dipelupuk matanya. "Tapi karena anak itu, saya menganggap kamu sebagai menantu." ucapnya.

"Kalau anak ini bukan anak Devin?" Katakan saja bahwa Mia gila, ia memberi tahu rahasia terbesar nya sendiri, dan mempersulit posisi nya untuk mendapat restu dari Mama nya Devin.

"Saya sudah menduga nya." cibir Mama. "Lagi pula, anggap aja sedekah, karena Devin mau bertanggung jawab. Padahal tuh anak gak punya bapak." ucapnya.

Mia meremas baju nya, ia sudah tak bisa menahan air matanya lagi. Punggung nya bergetar, Cici yang melihat nya langsung memeluk Mia, ia tak tega, ia juga tak bisa melawan Mama nya. Sedangkan Devin, cowok itu diam seperti bajingan, ia sama sekali tak membela Mia, tidak seperti sejak awal ia memperkenal Mia pada Mama nya.

"Oh yah, saya harap anak saya segera sadar. Dan tentu masa depan nya akan cerah, saya gak pernah mimpi untuk punya menantu jalang seperti kamu!" ucap Mama, nada bicara nya sudah naik.

"Jika menurut anda saya jalang, saya terima. Selagi itu membuat anda senang." Mia mengusap sisa-sisa air matanya, ia tak akan lemah. "Dan yah, satu lagi, saya gak pernah memohon atau bahkan meminta, buat Devin tanggung jawab." ucap Mia final, ia tak bisa terus menerus direndahkan. "Saya pamit." ucap Mia, lalu pergi begitu saja, Devin langsung menyusul.

"Mi!" teriak Devin, Mia terus berjalan keluar gerbang tanpa peduli lagi. Ia langsung menghentikan taxi, dan pergi meninggalkan rumah yang sudah ia label neraka.

Mia pulang bukan ke apartement nya, melainkan ke apartement Iren.

"Pak, bentar ya, saya minta uang nya dulu." ucap Mia, karena ia lupa tak membawa uang sama sekali. Untung Pak supir mengerti.

'Ting nung'

Mia menekan bel, hanya dua kali pijitan, pintu langsung terbuka, dapat Mia lihat wajah bantal milik sahabatnya itu.

"Mi, lo tum..."

"Minjem duit, buruan penting." potong Mia langsung pada inti.

"Lah, lakik lo bangkrut?" ucap Iren.

"Buruan, ini penting taxi nungguin tuh dibawah." ucap Mia, Iren tanpa bertanya lagi, langsung  memberikan uang yang ada di saku nya.

"Nih." ucapnya.

"Oke thanks." Mia langsung berjalan cepat takut supir taxi menunggu nya lama. Untung saat melihat lagi keluar, supir nya masih ada.

"Ini, Pak maaf yah nunggu lama. Kembalian nya ambil aja." ucap Mia menghampiri sang supir.

"Makasih mbak." ucap supir. Mia mengangguk.

Mia menyiapkan mental nya untuk mendapat ceramah panjang dari Iren. Ia yakin jika ia menceritakan semuanya, sahabatnya akan bertindak mungkin. Setelah siap, Mia langsung menuju apartement sahabatnya itu.

Married By Accident [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang