11

136K 5.3K 287
                                    

"Umur Baby dan kamu beda jauh, mau jadi apa nantinya?"

"Pa, Baby sama om Ag-"

"Bahkan Baby manggil kamu om! Kamu gak mikir anak saya di pandang apa kalau denger anak saya manggil kamu om? Delapan tahun, delapan tahun bukan perbedaan umur yang dekat."

Agam meneguk ludahnya, ia memejamkan matanya sebentar. "Saya paham om sebagai papa sulit menerima ini. Om pasti ingin yang terbaik untuk putri kecil om, tapi izinkan saya untuk bahagiain Baby. Saya memang bukan lelaki sempurna, tapi saya akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk Baby."

Dendi Hardyanto-- papa Baby menarik nafas panjang. Ia menatap putrinya. "Baby masuk kamar, sayang, papa mau ngomong sama Agam."

"Tap-"

"Cantiknya papa, masuk kamar, ya, papa gak bakalan ngapa-ngapain Agam."

Baby bimbang, ia menatap Agam. Agam yang melihat tatapan itu tersenyum sambil mengangguk. Ia juga berkata tanpa suara. "Aku gak papa."

Baby meremas rok nya, ia menatap papanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Baby harap papa bolehin Baby sama o-- bang Agam."

Dendi tersenyum tipis, ia mengelus rambut putrinya halus. "Tergantung jawaban pacar kamu nanti. Masuk kamar, ganti baju terus mandi. Nanti kalau papa udah siap ngomong sama Agam, papa bakalan manggil kamu."

Baby menyodorkan kelingkingnya ke Dendi. "Papa bener ya jangan apa-apain o-- ihh, susah banget, bang Agam maksud Baby."

"Iya," jawab Dendi sambil mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking mungil Baby.

Dengan perlahan Baby bangun dan berjalan. Ia sesekali tetap menatap papanya dan Agam. Rasanya ia ingin tetap di dekat Agam saat papanya berbicara dengan lelaki itu.

Melihat kelakuan putrinya, Dendi menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap Agam yang juga tengah menatap punggung putrinya. "Gam."

"Ma- maaf, om."

"Kamu yakin bisa serius sama Baby? Om pengen anak om gak pernah ngerasain yang namanya sakit hati, walaupun itu mustahil. Dia masih kekanak-kanakan, masih childish, pemikiran dia juga masih pendek. Sedangkan kamu, kamu udah dewasa, udah jadi CEO perusahaan keluarga kamu sendiri. Pemikiran kalian berdua bakalan sering bentrok nantinya."

Agam tersenyum saat menatap Dendi. "Om, om tau kenapa Agam yakin untuk memperkenalkan diri sebagai pacar Baby? Karena dia. Mungkin dia di rumah masih jadi anak kecil, masih jadi Baby yang orang taunya dia childish, tapi Agam sadar sesuatu, dia berubah waktu sama Agam. Dia yang tadi ngajak ngomong serius sama Agam tentang gimana hubungan kita berdua ke depan. Agam gak bakalan larang pendidikan dia, Agam gak bakalan batasin kegiatan dia, Agam cuma pengen buat dia bahagia."

"Om gak melarang Baby pacaran, umur dia udah cukup, tapi om cuma takut kalau dia mengenal cinta, dia sakit hati. Kalau dia sakit, dia susah sembuh dan lupain itu. Dia jatuh dari sepeda waktu umur dia sepuluh tahun aja, dia lupainnya lama, bahkan di tunjukin sama sepeda aja dia sampai nangis. Om gak mau dia kalau sakit hati bakalan gitu. Tau kenapa om sempat teriak sama kamu waktu kamu perkenalin diri sebagai pacar Baby?"

Agam menggeleng, tangannya bertautan di bawah meja. Bahkan rasanya tangannya sudah berkeringat.

"Umur kalian jauh, kamu bisa aja nyantol sama wanita yang lebih dewasa dari pada Baby. Om gak munafik, om tau pemikiran cowok kalau liat body cewek yang lebih wow dari pasangan dia. Om takut kamu nemuin yang lebih baik dari Baby dan ujungnya ninggalin Baby."

"Agam gak ada niat untuk ninggalin bekas luka di hati cewek om, apalagi cewek yang Agam sayang. Agam gak pernah ada pemikiran untuk ninggalin Baby. Agam tau, cowok pasti bisa aja khilaf, tapi sebisa mungkin Agam jauhin itu."

Om CEO [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang