07

146K 5.8K 196
                                    

"Kamu pernah punya pikiran gitu ke cowok lain?"

Baby mendongak, meletakkan dagunya di atas dada Agam sambil memajukan bibir bawahnya. "Enggak, Baby cuma kepikiran waktu om hampir nyium Baby tadi."

Agam menghela nafas panjang. "Aku bukan remaja lagi, sayang, aku takut kalau aku dah nyium kamu aku gak bakalan bisa berhenti, takut khilaf."

"Jadi, Baby gak akan rasain ciuman waktu pacaran? Nunggu nikah? Ya udah, besok nikah yok."

Agam menggigit hidung Baby gemas. Ada saja pemikiran absurd bocah ini. "Kamu kepengen ciuman terus nikah gitu? Pemikirannya ih!"

Baby menyengir. "Om tau sendiri gimana Baby kalau udah pengen sesuatu. Kalau om gak mau Baby minta sama abang atau kalau enggak kakak aja kalau dah balik ke Indo, atau papa aja kali ya?"

"Jangan, sama aku aja. Tapi, gak sekarang juga aku turutin. Oke, sayang?"

"Baby tagih loh janjinya."

Agam meneguk ludahnya, ia mengangguk. Ia ingin juga melakukan itu, tapi seperti yang di katakan tadi, ia takut khilaf. Walaupun tubuh Baby tidak montok, tetapi tetap saja ada tonjolan di dada gadis itu yang sepertinya-- genggaman tangannya cukup untuk meraup semua daging kenyal itu.

"Om udah pernah ena-ena?"

Agam terbelalak, ia terbatuk kaget. "Ha? Apa?"

"Ena-ena, om gak tau? Itu loh buat dedek walaupun kadang gak jadi dedek."

Emm, sepertinya berlama-lama di sini Agam tidak akan sanggup mendengar kefrontalan gadis ini. Agam menggeleng, ia mengusap pucuk kepala Baby. "Belum pernah sayang, aku mau ngelakuin itu bareng istri aja nantinya."

"Sama Baby berarti mau?"

Agam harus mengelus sabar dadanya, sebenarnya yang ada di otak Baby itu apa? Agam tidak bisa mencernanya. Agam berdehem. "Kalau kamu mau jadi istri ku ya mau aja."

"Ok."

"Aku keluar dulu ya? Gak enak sama Denand."

Baby menghela nafas panjang, ia menjauhkan tubuhnya dari Agam. "Besok jemput Baby, ya?"

"Iya. Mau di antar juga gak?"

Mata itu berbinar senang. "Mau!"

Agam terkekeh. "Ya udah, besok aku antar. Jam berapa biasanya berangkat?"

"Jam tujuh kurang seperempat."

"Aku ke sini setengah tujuh."

Baby mengangguk semangat. "Oke, pak bos!"

Agam tersenyum, ia berdiri dan mengecup kening Baby. "Aku keluar dulu."

"Kalau pulang hati-hati. Kalau dah sampai rumah telpon Baby."

"Iya, bocil ku sayang."

Pipi Baby bersemu. Ia berjinjit, tetapi tetap saja tidak bisa mencium pipi Agam. "Om, turunin badannya!"

Agam tertawa pelan, ia menundukkan punggungnya dan bibir kenyal Baby langsung terasa di pipi kirinya. Agam tersenyum, ia menunjuk pipi kanannya. "Yang sebelah iri loh kalau gak di cium bidadari nantinya."

"Bisa aja." Walaupun begitu Baby tetap mengecup pipi kanan Agam. "Dah. Apalagi? Gak ada yang iri lagi kan?"

Agam menggeleng. "Udah kanan kiri, gak bakalan ada yang iri."

Baby mendorong tubuh Agam agar keluar dari kamarnya. Ia juga bisa saja khilaf melihat rahang tegas dan bibir Agam.

"Bye, bocilnya aku."

Om CEO [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang