"Om, nikah sama Baby boleh Agam percepat waktunya?"
Semua pasang mata yang tadinya sedang menatap piring masing-masing langsung mengangkat pandangannya. Hening seketika dan semua pandangan tertuju pada lelaki yang seperti tidak ada rasa dosa mengatakan seperti itu. Tak terkecuali gadis yang di mulutnya masih ada roti yang belum di kunyah. Ia menatap Agam dengan tidak percaya dan bibir yang menganga. Nikah? Yang benar saja!
"Ehem." Deheman dari papa Baby akhirnya membuat semuanya tersadar. Dendi menatap Agam setelah meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. "Maaf, untuk permintaan kamu yang itu om belum bisa setujuin. Sebelumnya alasan kamu mau cepetin nikah apa?"
"Agam mau mengikat Baby ke jenjang yang lebih serius. Agam beneran gak main-main sama Baby om."
"Terus? Bukan karena tuntutan nafsu kamu?"
Agam langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak om, enggak."
"Bisa jamin kalau Baby nikah muda pendidikan dia dan cita-cita dia untuk jadi dokter gak terganggu?"
"Jamin seratus persen om. Agam juga mau liat Baby pakai jas putihnya. Kalau nanti di restuin untuk nikah cepat, Agam juga bakalan nunda punya anak yang penting pendidikan Baby lancar."
Baby meneguk ludahnya kasar saat melihat tatapan Agam yang mengarah kepadanya. Lelaki yang duduk tepat di depannya itu seketika menjadi seram. Baby belum mau nikah. Mengapa lelaki itu tidak membicarakannya berdua dulu sih? Kalau seperti ini kan Baby bingung. Agam sialan!
"Omongin berdua dulu jangan langsung sama om tante."
Baby langsung menatap papanya. Sedikit senyum cerah terlihat, papanya mengerti! Baby kemudian menatap ke depannya lagi, kakinya terulur dan menendang kaki Agam walaupun sepertinya hanya terkena sedikit saja karena kakinya tidak sepanjang itu.
Agam yang tersentak karena tendangan Baby yang terasa mengenai kakinya dengan terpaksa mengangguk. "Baik om."
"Bukan om yang tidak merestui, kalau masalah nikah urusan kalian berdua, kalau Baby belum siap untuk menikah nanti yang repot kamu juga, rumah tangga juga gak bakalan berjalan baik kalau salah satu belum siap menerima keadaan."
Agam memejamkan matanya sambil mengangguk. Benar juga, mengapa ia tidak memikirkan itu? Ah salahnya ia mengikuti pikirannya.
Agam membuka matanya dan pandangannya menatap Baby yang sudah berdiri dari duduknya. "Pa, ma, Baby udah siap. Om, Baby tunggu di mobil ya."
Agam menatap piring gadisnya, masih ada setengah roti tawar di sana. Aishh, hanya setengah roti tawar yang masuk ke dalam perut gadisnya, bisa-bisa gadisnya akan sakit.
"Tante siapin dulu bekalnya Baby, kamu tunggu, Gam."
Agam mengangguk. Ia memilih diam dan menghabiskan sarapannya. Tidak enak mama Baby sudah membuatkannya dan tidak ia habiskan.
"Baby masih gampang marah, apa yang gak sesuai sama pikirannya langsung dia simpulin kalau dia gak suka. Kalau udah gak suka ya gitu, ngambek, uring-uringan gak jelas. Nikah bukan cuma perkara hubungan sex, kasih sayang, tapi juga kesiapan mental. Kamu harus pastiin dan omongin dulu berdua, gimana mental Baby, gimana hati Baby kalau kamu ajak nikah semuda itu. Om gak nyalahin kamu, om akuin kamu berani ngelamar langsung kayak gini. Om juga bukan bela mental dan hati anak om, om cuma mau yang terbaik. Dia anak satu-satunya perempuan, gak gampang ngelepasinnya kalau dia gak sama kamu. Om tau kamu lelaki baik, sangat baik bahkan, kamu ngikat Baby di hubungan pertunangan itu udah nunjukin kamu serius sama anak om, om tau itu. Dia punya kamu, kamu punya dia, itu kan yang pengen kamu tekankan kalau kamu nikah sama dia?"
Agam meremas jemarinya, ia memberanikan diri menatap Dendi. "Iya, om."
Wajah pria yang sudah setengah abad lebih itu tersenyum. "Takut kalau Baby kecantol sama temen satu kampusnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Om CEO [Selesai]
Romance"Lah, om Agam gak mau jadi suami Baby?" Agam menghentikan langkahnya. "Kamu ngelamar saya?" "Gak lah, Baby cuma nanya aja. Om mana mau sama bocil. Tapi, kalau Baby mah mau-mau aja sama om." Agam menarik tangan Baby hingga gadis itu masuk ke dalam pe...