prolog

44.4K 2.2K 62
                                    

Ada yang mampir ke cerita pertama author nih, huhu seneng banget.

Happy reading.

Siapa yang tidak menyukainya hujan?
Mungkin hampir semua manusia menyukai hujan, hanya beberapa dari mereka takut akan Petir yang sesekali ikut serta bergabung bersama sang hujan. Di sini lah pita berada di bawah sebuah halte bis menunggu sang awan berhenti menumpahkan cairan beningnya.

"Kenapa harus ada petir si? mana udah mau gelap lagi." Sebenarnya bisa saja Pita menerobos hujan kala itu tapi dirinya tak bisa mengabaikan petir yang kian bersahut sahutan.

Pita Alena Syahira gadis dengan rambut segelap malam dengan bawah yang bergelombang itu terus saja berharap agar sang petir cepat berlalu, agar dia bisa segera menerobos hujan dan pulang ke rumah agar menghindari surprise dari keluarga kecilnya itu.

Beberapa kali dia mencoba menutup telinga, agar suara gemuruh tak terdengar. Beberapa kali juga dia memejamkan mata agar kilat dilangit tak dilihat oleh dirinya. Gadis itu benar-benar takut, hal itu membuat kilasan-kilasan masa suram memaksa masuk mengendalikan pikirannya. Pita tak ingin itu terjadi.

Satu jam berlalu, Pita sudah berada di pintu rumah miliknya, menarik nafas panjang kemudian memasuki rumah bernuansa modern milik kedua orang tuanya itu.

Kakinya tiba-tiba sangat sulit untuk digerakkan, lidahnya terasa sangat Kelu untuk melontarkan sebuah kalimat. Bahkan dia sendiri tidak bisa merasakan suhu tubuhnya. Apakah rintik air hujan membuatnya menggigil kedinginan, atau justru panas dan ketakutan melihat bangunan didepannya lebih mendominasi mengalahkan dingin air hujan yang menusuk tulang.

"Pita pulang." Baru ingin melangkah menuju tangga, suara seorang wanita mengurungkan niat pita untuk melangkah lebih lanjut.

"Kenapa telat pulang? jangan-jangan kamu habis jual diri dan bolos les kan?" Selalu seperti ini, sang Mama berasumsi sendiri tanpa mau mendengarkan penjelasan nya. Pita tak menyerah, dia akan menjawab sejujur-jujurnya seperti yang telah sudah.

"Ma, di luar hujan, Pita bisa aja nerobos hujannya, tapi Mama tau kan pita nggak pernah suka petir?"

Sang Mama mengitari tubuh Pita, melihat dari ujung kepala hingga ujung kaki itu. Basah, sang Mama berdecih sinis atas apa yang baru saja diucapkan gadis itu, "Bagus ya, sekarang udah bisa ngejawab!"

"Salah aku apalagi sih, Ma? aku udah ngomong sejujurnya sama Mama, bahkan Mama sendiri tau di luar beneran hujan. Aku juga nggak macam-macam di luar sana, Mama nggak lihat baju aku basah semua? begitu petirnya udah nggak ada aku langsung nerobos hujan biar nggak pulang kemalaman dan nggak ngebuat Mama marah."

"Selalu saja kamu beralasan, apa kamu pikir Mama bodoh nggak tau apa yang kamu perbuat dia luar sana ha?" Nada bicara Mama-nya sudah naik satu oktaf. Pita sedikit kaget dan memejamkan matanya.

"Tapi Ma, apa yang aku bilang tadi bener, Ma." Pita masih berharap bahwa perempuan paruh baya didepannya ini mau mengerti.

"Kamu selalu saja beralasan, kamu pikir mengurus kamu saja tidak membuat hidup ku muak?" ucap wanita paruh baya yang berada di depannya. Pita salah besar karena berharap hal yang mustahil untuk terjadi.

"Ak...aku minta maaf, Ma, kalau aku selalu nyusahin Mama."

"Maaf dari kamu nggak akan pernah ngebuat beban hidup saya berkurang."

"Kenapa sih Mama ngomong kayak gitu? salah aku di mana?"

"Salah kamu kenapa hadir dalam keluarga ini."

"Mama!" Pita sedikit berteriak, emosinya tiba-tiba tak bisa dikontrol hingga lepas begitu saja. Namun, melihat mamanya yang melotot tak percaya atas nada tinggi yang baru saja Pita lontarkan membuat dirinya bungkam dan merutuki dirinya sendiri.

"Ma..."

Plaaakkk

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus pita.

"Anak kurang ajar, mana sopan santun mu ketika berbicara dengan orang tua ha? apa pergaulan di luar sana ngebuat kamu jadi begini?". Wajah Pita tertoleh ke samping, tamparan sang Papa nya tidak main main, selalu sakit seperti biasanya.

Bahkan  aku nggak pernah bergaul sama sekali, Pa. Pita hanya diam, rasanya percuma jika ia bersikeras membela dirinya sendiri. Karena yang dia dapat bukanlah sebuah perhatian atas apa yang dia lakukan justru sebaliknya.

"Seharusnya kamu sadar, apa yang di katakan Mama kamu memang benar kenyataan nya, kami muak harus terus menerus memperhatikan diri kamu!"

"Kamu tidak pernah menjadi kebanggan dalam keluarga ini, dan kamu tidak pernah sadar akan hal itu!"

"Yang kamu lakukan hanyalah kesalahan, kelebihan kamu adalah menjadi beban untuk kami. Lantas apa yang harus kami banggakan hah!?" Teriak papa nya tepat di depan wajah Pita, membuat gadis itu memejamkan matanya dan mengigit bibir bagian dalamnya agar tak ada suara tangisan yang lolos.

"Masuk kamar kamu, dan jangan turun ke bawah sebelum apa yang seharusnya kamu kerjakan selesai."

"Tapi, Pa..."

"Masuk! sebelum kamu mendapatkan lebih dari sekedar tamparan dan makian!"

Menurut, Pita berlalu dari hadapan kedua orang tua nya dengan langkah gontai memasuki kamar. Ini bukanlah yang pertama. Dia sudah terbiasa bahkan orang tua nya selalu memberikan surprise yang lebih mengejutkan dari yang barusan terjadi.

Sesampai di kamarnya Pita tak bisa lagi menyembunyikan tangisannya, semuanya lolos begitu saja walau sudah berkali kali Pita coba untuk menahannya.

"Sakit apa lagi ya yang belum gue cobain? rasanya gue udah akrab banget sama yang nama nya sakit hehehe." Kekehan kecil di akhir kalimat pita membuat sebuah Isak tangis mengalun kian pilu membuat siapapun yang mendengarnya dapat merasakan betapa tersiksanya dia selama ini.

"Kalau aja Kak Aksa di sini, Kak Aksa bakal jagain aku kan? atau aku aja yang ikut ke sana?"

"Pita capek Kak, nggak ada yang mau dengerin penjelasan Pita dulu, nggak ada yang mau hapus air mata Pita lagi? apa yang terjadi bukan salah Pita kan Kak? Pita nggak jahat kan? nggak, Pita anak yang baik, Pita nggak jahat."

"Pita nggak jahat, Pita nggak pernah pengen ini terjadi, Pita nggak jahat." Kalimat itu sering di gumam kan oleh Pita hingga akhirnya dia kelelahan dan terlelap dengan sendirinya.

Kata orang tua dalam kehidupan seorang Pita menjadi momok menakutkan. Ketakutan itu bertambah besar setiap harinya.

Pita tak mengatakan bahwa dirinya rapuh, mudah patah dan hilang keseimbangan. Akan tetapi, apa boleh buat? semakin lantang dia mengatakan itu, semakin banyak kenyataan yang menghujami Pita dengan beban-beban berat dipundak.

Pita sendiri, satu-satunya rumah kini menjadi tempat pulang terseram. Penghuninya mengerikan. Pita seolah tersesat dan tak dibiarkan untuk kembali pada jalan yang benar.

Tubuh kurusnya ikut menandakan betapa banyak penderitaan yang dia alami. Setiap tidurnya seperti sekarang...

"Pita nggak jahat...Pita bukan pembunuh!"

Dia mengigau, menggumamkan hal yang sama setiap dia tertidur dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja.

Pita selalu sendiri, entah sampai kapan, Pita tak tau. Dia hanya berusaha dan terus berdo'a agar ketika ajalnya sudah didepan mata dia masih bisa menyaksikan betapa banyak orang yang menyayanginya.

Gimana nih prolog nya?
Jangan lupa vote dan komen ya guys, sayang deh banyak banyak sama para readers hehehe.

F I G U R A N  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang