Chapter 33

7.1K 511 36
                                    

Hyakkkk! Holaaaa! Arra kembali nih, gelar red karpet dong xixixi. Eh vote dong, maksa lho ini, masa iya nggak mau vote, atau Arra harus ngajarin cara ngasi vote itu kayak gimana? Duh, yaudah, cara nya tu gitu, trus gini, nah udah deh hehehehe gaje ya, yaudah yok baca.

Happy reading para readers tercintahhh<3


"Sial!" Agam mengacak rambutnya kasar "Kalau dia nggak teriak nggak mungkin ada yang tau, dan Gue bisa ngabisin dia dengan cepat!" Agam berteriak frustasi.

"Bisa-bisanya pria tua itu nggak becus sama sekali, padahal gue udah membayar sangat mahal untuk hal itu!"

"Arghhh!"

Pranggg

Sebuah vas bunga pecah berserakan diruang tamu karena ulah Agam, dirinya benar-benar marah kenapa pria tua itu tidak becus untuk menjaga diluar.

Pranggg

Satu lagi vas bunga yang berada di meja dekat sofa pecah berserakan. Mengabaikan pecahan kaca dirumahnya Agam berlalu masuk ke kamarnya, membanting pintu dengan sangat kasar hingga sebuah figura foto jatuh dan mengalihkan atensinya.

Foto dua orang yang terkena sinaran saja, membuat keduanya berupa bayang dengan latar belakang senja yang hampir tenggelam sepenuhnya.

Foto itu diambil setahun silam, disebuah pantai tempat Agam dan Pita sempat menghabiskan waktu liburnya.

Amarah Agam kian memuncak ketika mengingat itu, darahnya mendidih bak air yang direbus. Pantai yang menjadi tempat favorit Agam berubah menjadi tempat yang sangat dia benci.

"Gue benci sama lo, tapi perasaan gue nggak bisa dibohongin gitu aja!" Teriak Agam frustasi.

"Gue pengen lu mati! Gue nggak pengen lo hidup dengan segala tatapan kebencian yang bersarang nyaman dalam hidup lo!"

"Gue nggak pernah mencintai elo, selama ini gue menganggap kalau lo adalah salah satu pelengkap lembaran demi lembaran cerita dalam hidup gue yang kehadirannya bisa pergi kapanpun, ntah itu elo yang mau atau gue yang maksa elo buat pergi!" Saat ini kondisi Agam benar-benar kacau, terlebih lagi didalam dirinya.

Dering telfon sama sekali tak mengalihkan perhatian Agam, dirinya masih menatap lekat figura yang dia pegang sangat erat.

"Lo kelemahan gue sekaligus orang yang membuat amarah dan dendam gue bergejolak, kenapa harus lo? Kenapa bukan yang lain?" Agam meringkuk diatas kasur dengan figura didadanya, dia peluk erat figura itu seperti dia memeluk orang yang selama ini dia rindukan.

"Aksa! Kasi gue petunjuk apa gue harus ngelupain semua ini? Harus gue jadi orang yang berpura-pura baik dihadapan dunia? Kepergian lo membuat semuanya berubah Sa, dalam diri gue, keluarga lo, bahkan teman-teman kita yang lain."

Lagi-lagi dering telfon berdering seperti tak membiarkan Agam untuk menenangkan dirinya, dengan amarah yang memuncak Agam mengambil dan langsung mengangkat telfon itu tanpa melihat siapa yang menelfonnya.

"Nggak usah nelfon kalau nggak penting bangsat!"

"Ka...kak Agam," Agam membeku sejenak ditempatnya, dia lihat sejenak layar ponselnya, disana terdapat no yang tidak dikenal alias no yang tidak Agam simpan.

"Maaf," Agam mengusap wajahnya kasar kemudian berdiri meletakkan figura itu didalam lemari dengan masih menunggu sahutan dari seberang.

"Key?"

"Hum?"

"Maaf," ulang Agam lagi "Gue kira itu anak rekan bisnis papa, ternyata elo," lanjutnya.

"Iya, nggak apa-apa. Kak Agam gimana kabarnya?"

F I G U R A N  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang