Bab 36

694 85 3
                                    

Semenjak hidup dalam tubuh putri Feng Na Na di dinasti kerajaan Feng, tidak ada hal yang menyenangkan yang kurasakan. Meskipun demikian, aku harus tetap patut bersyukur karna berkat kaisar Feng Rui aku tetap hidup meski melalui hari-hari menyiksa dan melelahkan.

Setelah mempelajari buku tradisi kerajaan Feng mengenai hal-hal yang patut aku ketahui, malam ini aku harus memperagakan gerakan penghormatan dalam proses pernikahan nanti.

"Anda harus lebih membungkuk yang mulia" tegur seorang dayang yang saat ini tengah membantuku.

"Harus berapa derajat lagi aku harus membungkuk. Pinggangku rasanya nyaris patah" keluhku.

"Sedikit lagi yang mulia, anda harus membungku lebih dalam lagi" kata dayang itu penuh sabar.

"Kau terus mengatakan aku harus membungkuk lebih dalam, apakah caraku membungku belum cukup? Kurasa dalam buku yang kubaca, aku sudah benar" protesku.

"Ehmm..ehem. Yang mulia putri mahkota, sebenarnya hamba hanya diminta membuat tubuh anda terasa lebih lemas dan lentur, maka dari itu hamba menyuruh anda melakukan gerakan membungkuk seraya berharap apa yang anda lakukan mampu merenggangkan otot-otot anda" aku dayang tersebut sembari menggaruk salah satu pipinya yang terasa tak gatal.

Mendengar penjelasan dayang tersebut, aku lantas bangun. Sembari memberinya tatapan tajam. Jujur saja aku merasa kesal, harusnya jika ia mengingkan otot-ototku lebih renggang, lemas dan lentur, harusnya ia membiarkanku pemanasan terlebih dahulu.

Saat ini semua otot-otot tubuhku terasa menjerit. Rasa sakit yang kurasakan, serta rasa lelah dan kantuk yang mendominasi membuatku akhirnya memilih mendesah dan mulai berjalan menuju peraduanku meski sedikit tertatih.

"Sebagai hukuman karna membohongiku, kau harus memijitku" perintahku.

Dayang itupun mengangguk dan mulai memijit kedua kakiku saat aku membaringkan tubuhku di atas peraduan. Pijatan ringan yang dayang itu berikan membuatku merasa sedikit mengantuk, mataku mulai terasa memberat dan hendak tertutup.

Aku jelas ingin tidur, namun aku sadar saat ini bukanlah waktunya aku bersantai. Dalam beberapa hari lagi statusku akan berubah. Dari tunangan menjadi istri, dari putri mahkota menjadi permaisuri. Jujur ada perasaan takut yang kurasakan saat ini saat membayangkan betapa beratnya pekerjaan yang akan kuemban kedepannya, menjadi permaisuri di sebuah kerajaan tak pernah ada dalam bayanganku meski sewaktu aku kecil, aku pernah bermimpi menjadi putri. Di masa depan kehidupannya telah memenuhi impianku, aku di perlakukan layaknya putri sebelum berakhir tragis di tangan tunanganku sendiri.

Aku mendesah. Aku tak pernah bercita-cita menjadi orang yang berpengaruh dan berkuasa. Aku terlalu malas berurusan dengan politik dan pemerintahan yang hanya membuat kepalaku terasa hampir pecah. Menjadi seorang permaisuri bukan hanya semata-mata duduk di balik meja menerima salam hormat dan pujian para nyonya bangsawan. Menjadi permaisuri bukan hanya untuk memamerkan senyum dan pakaian kebesaran yang ia kenakan. Menjadi permaisuri bukan hanya sebatas memberi keturunan. Sebab pekerjaan seorang permaisuri bukan hanya sebatas itu.

Kelak aku harus bekerja dan mengatur masalah kerajaan bagian dalam, memastikan para penghuni kerajaan mematuhi aturan dan menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Menyiapkan segala keperlua kaisar, membantu meringankan pekerjaannya bahkan ia harus mengatur para selir yang akan kaisar Feng Rui ambil kelak.

"Apakah hati dan ragaku akan kuat?" Gumamku.

"Yang mulia putri mahkota, apakah anda mengatakan sesuatu?" Tanya dayang yang sedari tadi memijit kedua kakiku.

Pertanyaan dayang tersebut berhasil membuyarkan lamunanku. Aku dengan cepat mengenyahkan pikiranku seraya menjawab "aku tak mengatakan apa-apa" kataku yang tentu saja sebuah kebohongan.

"Tapi hamba merasa anda mengatakan sesuatu, meski hamba tidak begitu mendengarnya dengan jelas" katanya yang hanya membuatku mendesah saat melihat betapa kukuhnya dayang tersebut.

"Mungkin hanya perasaanmu saja" jawabku. "Kau boleh berhenti dan beristirahat, sebelum kau kembali ke kamarmu, bisakah kau meminta kepala dayang untuk mengantarkan makanan untukku? Aku merasa sedikit lapar" pintaku yang tentu saja hanya sebagai bentuk pengalihan.

Dayang itu lantas mengangguk dan beranjak bangun dari duduknya, setelah membungkuk hormat ia pun mengundurkan diri dan keluar dari kamarku.

Sepeninggalan dayang itu, aku kembali menghela nafas berat. Hanya menghitung hari semuanya akan berubah. Aku sadar hari-hariku tidak akan mudah seperti sebelumnya, dan jujur saja aku belum siap untuk masalah yang akan kuhadapi kedepannya.

.
.
.

Di sisi lain, seorang pemuda tengah melompat dari atap ke atap rumah penduduk kerajaan Feng. Pemuda itu mengenakan pakaian hitam sehingga tubuhnya tampak berbaur dengan gelapnya malam.

Pemuda itu beranjak lompat turun dari atap bangunan besar milik pangeran Zhi Weng. Pemuda itu lantas membuka masker kain yang ia ikat dan menutupi wajahnya, pemuda itu adalah Sun, tangan kanan pangeran Zhi Weng yang malam ini tampak hendak melaporkan suatu masalah.

"Yang mulia"

Sun memasuki kamar pangeran Zhi Weng tanpa mengetuk. Kebiasaan buruknya ini tentu saja langsung mendapat plototan dari pangeran Zhi Weng yang tampak terkejut akan kehadiran sahabat dan tangan kanannya di saat ia tengah mengganti pakaiannya.

"Bisakah kau membiasakan diri untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk!" Tegur pangeran Zhi Weng dengan nada kesal.

"Hamba tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk mengetuk. Informasi yang hamba dapatkan nanti hilang" balas Sun yang sama sekali tidak peduli dengan tatapan pangeran Zhi Weng yang kini menghujamnya dengan tatapan tajam.

"Kau punya otak Sun, tentu saja otakmu harus kau pergunakan bukan hanya untuk mengintai dan bertarung. Tapi gunakan juga otakmu untuk menutupi kekuranganmu itu. Dengan menggunakan otakmu tentu saja bisa menulisnya di kertas!" Balas pangeran Zhi Weng menggebu. "Ah, aku lupa kau sama sekali tidak punya otak. Isi kepalamu hanya di isi dengan otot" tambah pangeran Zhi Weng yang tentu saja menyindir sahabatnya dengan keras, namun respon Sun seperti biasa, ia merasa bangga dengan sindiran tersebut.

"Tentu saja yang ada di kepalaku adalah otot, yang kupikirkan hanya latihan, kerja dan bertarung" jawab Sun bangga.

"Karna itulah kelakuanmu sangat bar-bar dan kurang ajar" kata pangeran Zhi Weng memijit keningnya yang terasa berdenyut.

"Kesampingkan dulu hal itu, sekarang hal apa yang ingin kau sampaikan Sun?" Tanya pangeran Zhi Weng yang telah merapikan jubah tidurnya.

"Hamba ingin melaporkan jika perdana mentri Meng Lu saat ini jatuh sakit. Menurut hasil pemeriksaan tabib yang kudengar, perdana mentri Meng Lu kelelahan" lapor Sun.

"Kelelahan?" Tanya pangeran Zhi Weng yang mendapat anggukan dari Sun.

"Dia baru saja mengambil libur selama seminggu, hal apa yang membuat perdana mentri Meng Lu hingga jatuh sakit padahal ia baru kembali bekerja selama seminggu. Beng Wang tahu saat ini para perdana mentri dan pejabat tengah sibuk mengurus segala keperluan pernikahan dan penobatan kaisar Feng Rui dan Feng Na Na, tapi para mentri dan pejabat lain yang juga bekerja keras tidak beda jauh dengan perdana mentri Meng Lu sama sekali tidak ada yang jatuh sakit" jelas pangeran Zhi Weng.

"Sun, tampaknya kau harus menyelidiki di kerajaan Feng secara langsung. Beng Wang rasa ada yang tidak wajar tengah terjadi di kerajaan Feng"

.
.
.
.
.

TBC

Sabtu, 28 Agustus 2021

Feng Na Na [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang